Pengikut

Rabu, 28 Oktober 2015

*Oleh-Oleh itu Tak Begitu Berarti*



Selanjutnya aku kembali kuliah di kampus seperti biasanya. Aku membagikan pensil, stiker dan kartu pos yang kubeli di Sedona kepada teman-teman kelasku. Sebenarnya aku merasa malu kepada teman-temanku karena belum bisa memberikan mereka oleh-oleh yang berarti.
Aku bersyukur karena teman-temanku bisa memahami kondisiku. Dosen-dosen yang memberiku surat rekomendasi kuberi sebuah boneka salju. Sedangkan dosen-dosen lain yang mengajar dikelasku hanya kuberi magnet kulkas.
Bahkan yang lebih parahnya lagi, aku tidak bisa memberikan oleh-oleh yang berharga buat para pimpinan tertinggi di kampusku. Aku teringat kisah menyedihkan sebelum keberangkatanku dua bulan yang lalu.
“nanti, kalau kamu mau berangkat, beri tahu kami ya, kami akan membuatkan acara pelepasan untukmu dan akan memberimu sedikit bekal buat kesana” begitulah kalimat yang dilontarkan oleh salah seorang pimpinan tertinggi di kampusku.
“Iya pak” aku serasa mendapatkan angin segar waktu itu. “wah sepertinya ada harapan  nih” fikirku. Para dosen banyak yang mengatakan bahwa kampus akan memberiku sedikit bekal uang untuk kesana. Walaupun tidak terlalu berharap, namun aku sangat membutuhkan itu.
Tiga hari sebelum pergi akupun menemui pimpinan yang dulunya berjanji kepadaku.
Aku menuju ruangannya dan mengetok pintu. “Assalamualaikum”
“Ya, silahkan masuk” aku masuk dengan jantung berdebar kedalam ruangan bapak itu.
“ada yang bisa saya bantu” beliau bertanya kepadaku
“iya pak, insya allah saya akan berangkat dua hari lagi” aku menerangkan kepadanya.
“truz?”
 “Katanya saya mau diberi acara pelepasan kan pak”
“wah, gak usah aja pakai acara pelepasan, selamat jalan aja ya, semoga kamu selamat pulang pergi ya” beliau langsung berdiri dan menyalamiku.
Aku hanya bisa menyambut uluran tangannya dengan penuh kebingungan. Aku merasakan seperti ada pisau yang tajam mengiris-iris hatiku. Perutku lagsung kembung menahan tangisan dan air mataku yang terasa mau tumpah.
“terima kasih pak” aku menjawab jabatan tangannya dan meminta diri. Aku langsung berlari keluar dari gedung itu. Namun, di pintu masuk aku bertemu dengan salah seorang ibu staf administrasi kampus. Beliau bertanya kepadaku “kapan jadinya acara pelepasanmu”
“kata bapak Z aku gak pakai acara pelepasan bu”
“apa?” ibu itu terkejut
“kamu harus menemui ketua kampus kita” ibu itu memberiku saran
“kalaupun beliau juga mengatakan tidak ada pelepasan untuk kepergianmu, setidaknya kamu bilang bahwa kamu mohon pamit secara pribadi kepada beliau” Ibu itu memberiku nasehat.
Aku kembali naik ke ruangan pejabat kampusku itu. Aku mengetok ruangan ketua kampusku. Namun aku langsung dicegat oleh resepsionis. “mau apa?” dia memandangku tajam.
“saya mau menemui bapak” aku menjawab menahan kembung perutku yang dari tadi ingin menangis.
“ada keperluan apa kamu menemui bapak” dia menanyaiku lagi masih dengan tatapan tajam tanpa senyuman.
“aku mau pergi ke amerika dua hari lagi dan mau pamit sama bapak” aku mencoba menjawab dengan penuh ketenangan.
Tunggu disini sebentar. Dia menyuruhku menunggu di kursi. Kulihat dia masuk keruangan bapak tersebut. kudengar sayup-sayup dia berkata kepada bapak itu.
 “pak, mahasiswa yang mau ke amerika itu mau menemui bapak”
“ya, suruh dia masuk” kudengar bapak itu menjawab dengan tegas
Setelah respsionis itu keluar dan menyuruhku masuk, akupun masuk dan mengucap salam.
“assalamualaikum pak”
“iya, ada apa?”
Aku langsung duduk walaupun tidak dipersilahkan duduk oleh bapak tersebut.
“saya mohon pamit mau berangkat dua hari lagi pak” aku menjawab pertanyaannya.
Bapak itu terlihat terkejut dan berkata “kamu sudah temui bapak Z? kapan acara pelepasanmu?”
“sudah pak, tapi beliau bilang tidak ada acara pelepasan untuk saya”
“apa? Tidak mungkin itu, baiklah nanti kampus akan menghubungi kamu untuk acara pelepasan”
“terima kasih pak” akupun mohon diri dan lari ke kamar kos sahabatku yang berada dekat kampus. Aku menumpahka semua tangisanku kepada sahabatku itu. Dia memelukku erat dan menenangkanku.
Setelah agak tenang, aku langsung pulang ke rumah dan memutuskan untuk tidak ke kampus lagi sampai waktu keberangkatanku. Kalaupun nanti kampus menelvonku untuk acara pelepasan, aku akan datang. Namun jika tidak ada informasi dari kampus, aku akan tetap pergi walaupun tanpa acara pelepasan tersebut.
Aku memanfaatkan dua hari yag tersisa itu untuk packing dan mengumpula recehan duit puluhan ribu dari para tetangga yang bersimpati kepadaku. Aku menggunakan uang bantuan dari para tetanggaku itu untuk membayar hutang uang sekolah adikku yang masih duduk di kelas 2 SMA. Menurutku adikku lebih membutuhkan uang itu daripada aku. Toh, nanti aku juga akan bisa hidup enak di amerika walaupun tanpa uang.
Akhirnya, pada hari yang telah ditetapkan, aku berangkat diantar oleh bapak, adik, ponakan laki-lakiku yang  masih berumur 3 tahun, sahabatku serta paman dan bibi yang kebetulan tinggal dekat bandara.
Perjalanan menuju bandara selama 3 jam menggunakan bus. AKu dan sahabatku duduk didepan. Disepanjang jalan, sahabatku menggenggam erat tanganku. Air mata kami tumpah dalam diam. Dia yang telah setia menemani perjuanganku hingga akhirnya hari itu aku bisa berangkat. Dia yang selalu setia menemaniku dalam semua dukaku. Aku benar-benar sedih tak berperi mengingat semua yang telah kami lalui. Abang sopir mobil juga terharu melihat kami yang tak henti-hentinya menangis di sepanjang jalan.
Kulihat dari spion bus, Bapak dan adikku juga menahan haru di bangku belakang. Aku memperbanyak zikir supaya tidak terlalu larut dalam kesedihan itu. Aku dan sahabatku menikmati genggaman tangan terakhir kami sebelum berpisah untuk waktu yang lama.
Sampainya di bandara aku makan pagi sebungkus berdua di salah satu pojok bandara dengan sahabatku. Kami mencoba mengeluarkan senyuman untuk berpisah di pagi itu. kami telah letih menangis di sepanjang jalan.
Selesai makan akupun dipanggil oleh paman untuk check in dan masuk ke ruangan tunggu. Pamanku adalah seorang security di bandara itu. Beliau meminta izin kepada atasannya untuk mengizinkan keluarga dan sahabatku untuk mengantarku sampai ke ruangan tunggu penumpang. Benar-benar sebuah kesempatan yang istimewa buat keluarga dan sahabatku.
Tiba-tiba sahabatku melihat salah seorang dosen kami juga ada di ruangan itu.
“cha cha liat, itu kan dosen kampus kita, sapa lah ia” sahabatku menunjuk seorang bapak-bapak berbaju putih di bagian check in.
“hmm,,nanti ah ja, kalau sempat”aku tidak begitu tertarik dengan tawaran sahabatku itu.
Saat berpisahpun tiba, semua melambaikan tangan kepadaku dengan deraian air mata. Sahabtku tidak sanggup lagi melihatku. Kulihat dia lari ke sebuah pojok Karena tidak sanggup melepasku dengan tangisan. Kulihat lambaian tangan adik dan bapak dengan rasa sedih yang sangat dalam. Aku yakin mereka juga mengiringiku dengan doa. Air mataku mengalir tak henti-hentinya sampai aku terduduk di dalam pesawat.
Tiba-tiba saja, aku melihat dosen kampusku yang tadi ditunjuk oleh sahabatku duduk tidak jauh di depanku. AKu mencoba menyapanya.
“bapak, bapak, bapak pakai baju putih” aku memanggil bapak itu. Bapak itu menoleh dan tersenyum.
“bapak dosen STAIN kan? Mau kemana pak? Aku mahasiswa STAIN juga pak” aku mencoba memperkenalkan diri.
“bapak ada acara di Jakarta. Kamu mau kemana”
“saya mau ke amerika pak”
“oh ya, kapan acara pelepasanmu, kok bapak tidak melihat pihak kampus di bandara tadi”
Tanpa sadar aku langsung keceplosan ngomong “gak ada pak, saya hanya dilepas oleh bapak, adik, paman, bibi dan sahabat saya” air mataku kembali tergenang.          
Kulihat bapak itu menepuk jidatnya. Aku tak sanggup lagi melihat bapak itu. Aku kembali hanyut dengan kesedihanku.
Sampai di bandara soekarno hatta, aku lagsung mencari pihak hotel yang akan menjemputku. Tidak susah bagiku untuk mencarinya karena dia berdiri di tempat yang mudah terlihat. Sampai di hotel, aku langsung menuju kamarku untuk beristirahat.
Tiba-tiba handphoneku berdering “haloo, assalamualaikum”
“waalaikumussalam, reni, ini bapak” aku mendengar suara bapak-bapak di dalam handphoneku.   
“bapak bapak yang mana?”
“bapak Z, wah, ternyata kamu udah berangkat ya?”
Deg, jantungku langsung berdegup. Aku kembali sedih mengingat proses aku menemuinya terakhir kali.
“ada apa pak, bukannya saya sudah menemui bapak dan bapak telah mengucapkan selamat jalan kepada saya” aku mencoba menenangkan diri.
“bapak kira kamu akan menemui bapak lagi”
“maaf pak, bukan tipe saya seperti itu. Karena bapak sudah mengucapkan selamat jalan kepada saya, makanya saya tidak berani lagi menemui bapak” aku menjelaskan dengan tegas kepadanya.
“Wah, padahal ada dana satu juta dari kampus untukmu nih. Gimana dunk. Mau dikirim lewat atm saja atau diambilnya waktu pulang dari amerika saja?”
“Alhamdulillah, terima kasih pak, kirim lewat atm saja pak” menurutku aku tidak boleh menunda-nunda waktu lagi untuk menerima dana itu.
“baiklah, kirimin nomor rekeningmu ya”
“ya pak, terima kasih pak, asssalamualaikum” telvon pun terputus.
Temanku bertanya. “siapa yang menelvon res?”
“dosenku”
“ada apa”
“beliau memberiku uang satu juta”
Temanku tersenyum dan kembali berkata “kenapa baru diberinya sekarang? “Aku juga dapat lima juta dari kampusku. Udah dari seminggu yag lalu lagi”
Aku hanya diam dan tersenyum.
Tak lama kemudia handponeku kembali bordering. Aku mengangkatnya “halo, assalamualaikum”
“waalaikumussalam, reni ini bapak yang tadi ketemu di pesawat. Bapak Z udah menelvon kamu kah kamu udah berikan nomor rekeningmu ke bapak itu?”
“wah, terima kasih ya pak, ternyata bapak menelvon bapak Z ya” aku mengucap terima kasih banyak kepada bapak itu.
Di seberang telvon kudengar bapak itu tertawa kecil dan mengucapkan selamat jalan kepadaku”
Begitulah kisah kesedihanku waktu itu. Sekarang aku sudah kembali berada di kampus. Beberapa orang dosen menyuruhku menemui kembali bapak Z untuk berterima kasih karena telah membantuku. Menurutku ucapan terima kasihku waktu itu sudah cukup dech, tapi gak apa juga lah. Sebagai bentuk aku menghargainya. Aku kembali menemui bapak Z.
“assalamualaikum” aku masuk ke ruangan bapak itu ditemani oleh sahabatku.
“waalaikumussalam silahkan masuk” beliau langsung berdiri menyalamiku dan mempersilahkanku duduk.
“bagaimana kabarnya: bapak itu memulai pembicaraan.
“alhamdullillah pak, aku telah kembali dengan selamat. Disana aku juga telah belajar dengan baik”
“Wah, pasti banyak dapat uang saku nih, bagaimana dengan uang yang bapak beri dulu?”
aku langsung terkejut “kenapa larinya kesitu sih topik pembicaraan bapak ini” aku bergumam di dalam hati.
“maaf pak,disana saya hanya diberi fasilitas yang lengkap dan memadai supaya bisa belajar dengan lancar dan tenang. Ahamdulillah uang yang bapak beri satu juta itu habis untuk makan saya selama di bandara jepang” aku menjelaskan dengan penuh ketenangan dan sedikit tersenyum.
Kulihat bapak itu hanya diam. Kemudian beliau kembali berkata “baiklah, mungkin nanti kalau ada lomba debat, kamu akan saya masukkan juga sebagai pesertanya ya”
Aku hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada bapak itu. Begitulah, aku hanya memberikan oleh-oleh berupa cerita kepda bapak itu, juga kepada orang-orang di luar itu. Walaupun aku yakin hal itu bukanlah hal yang mereka harapkan. Namun aku hanya bisa mencoba nyaman dengan semua itu. Aku telah meniatkan cerita di novel ini adalah hadiah terbesar buat orang-orang yang telah membantuku saat itu.
Selanjutnya, aku menjalani proses kuliahku seperti biasanya dan mengejar semua ketertinggalanku dengan meminta tagihan tugas kepada semua dosen-dosen mata kuliahku semester itu.
Alhamdulillah aku bisa melewati semester itu dengan baik dan lancar.

*Back to Indonesia*



Dua bulan sudah aku meneteap di Negara Arizona. Perantauan singkat yang berkesan dan memberikan banyak kisah. Sekarang tibalah waktunya untuk pulang.
Amy menyuruh kami untuk berkumpul di Bandara Phoenix pukul 4 pagi. Kami mendapatkan penerbangan awal menuju Bandara San Fransisko. Amy akan mengantar kami hingga bandara San Fransisco karena dia juga akan berkunjung ke tempat temannya disana.
Kulihat teman-temanku menangis berderaian air mata dilepas oleh orang tua angkat mereka masing-masing. Sedangkan aku hanya diantar oleh Carmen sampai aku bertemu dengan rombongan, kemudian dia langsung pulang. Aku tidak tahu kenapa dia bersikap begitu kepadaku. Jangankan memelukku tanda perpisahan. Menjabat tanganku aja senbagai tanda perpisahan tidak dilakukannya.
Aku merasa sedih. Beberapa orang tua angkat temanku yang kenal denganku memelukku penuh haru. Aku mengucapkan terima kasih banyak kepada mereka. Di ruangan tunggu teman-teman saling memamerkan hadiah pemberian orang tua agkatnya masing-masing. Mereka bertanya kepadaku. “apa yang kamu dapat res”
Aku hanya bisa memamerkan sebuah alqur’an denga terjemahan berbahasa inggris kepada mereka. “aku mendapatkan ini dari pengurus masjid” aku menjelaskan kepada teman-teman.
“Carmen tidak memberimu apa-apa” tema-teman bertanya heran. Aku hanya membalasinya dengan senyuman termanisku. Pembicaraan kami terputus karena harus segera naik ke pesawat.
Sesampainya di San fransisko, amy menemani kami sampai ke ruangan tunggu pesawat. Disanalah pelukan terakhir dengan amy terjadi. Semua diliputi kesedihan yang mendalam karena harus berpisah dengan amy yang sudah kami anggap sebagai bagian dari kehidupan kami. Semu aberharap bisa bertemu kembali dengan amy di suatu waktu nanti. Termasuk juga aku.

Di atas pesawat menuju Jepang, aku duduk diantara nurona dan okta. Perjalanan menuju Jepang lebih banyak kami habiskan dengan  tidur dan tidur, Kami hanya bangun untuk menyantap hidangan yang diantarkan oleh pramugari pesawat.

Di jepang, kami menunggu tidak terlalu lama hingga akhirnya bisa naik ke pesawat menuju singapura. Teman-teman menggunkan waktu tersebut untuk belanja souvenir di bandara narita tersebut.
Kami sampai di bandara changi singapura jam satu malam. Padahal pesawat kami menuju Indonesia selanjutnya adalah jam setengah tujuh pagi. Kami menggunakan waktu enam jam menunggu itu untuk berkeliling menikmati indahnya bangunan bandara change. Kami berfoto disana sini untuk kenang-kenangan. Aku sempat membeli kartu pos singapura dua pack. Aku menyangka uang dolar yang dipakai di sngapura sama dengan uang dolar yang dipakai di amerika. Ternyata harga dolar singapura jauh lebih rendah dari harga dolar amerika. Jenis uangnyapun berbeda. Ternyata hanya namanya saja yang sama.

Selanjutnya jam 7 pagi aku dan teman-teman telah terbang di atas pesawat garuda menuju Indonesia. Itulah pengalaman pertamaku terbang bersama pesawat garuda. Kami disuguhi spageti oleh pramugari pagi itu. Kami bisa memilih tempat duduk seseuka hati di atas pesawat tersebut karena penumpangnya hanya kami saja.
Jam 10 pagi, aku telah menghirup kembali aroma bandara soekarno hatta dan aku tidak sabaran juga menghirup aroma udara ranah minang jam 3 siangnya. Mbak chichi dan panitia beasiswaku yang lainnya mengumpulkan kami di ruangan meeting bandara soekarno hatta. Disana kami berbagi kisah dan menyeleseikan semua administrasi dengan panitia.
Jam 2 siang panitia melepas kami semua untuk kembali ke daerah masing-masing.
Ketika pesawatku mendarat di bandara internasional minangkabau. Aku mendengar banyak ocehan orang berbahasa minang. Sudah dua bulan aku tidak menggunakan bahasa itu. Aku tidak pernah bisa menelvon bapak selama dua bulan itu.
Kulihat diruangan bagasi, bapak dan pamanku telah menunggu kedatanganku. Aku benar-benar bahagia tak terkira bertemu kembali dengan keluargaku. Aku langsung menyalami tangan bapak dan pamanku. Bibi langsung memeluk dan menciumiku. Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Lidahku terasa kaku untuk kembali berbahasa minang. Akupun heran karena bahasa minang terasa sangat aneh di mulutku. Padahal baru dua bulan. Ketika bapak menanyai tentang perjalananku.
Aku hampir menjawabnya dengan bahasa inggris. Untung aku bisa kembali menyesuaikan diri.
Sepertinya untuk seminggu pertama ini aku bakalan jet lag lagi dan akan membiasakan tubuhku kembali tebiasa dengan waktu dan suasana kampung.
Di atas mobil menuju ke rumah, aku mendengar lalu lalang yang sangat bising. Telinga dan hatiku berdebur-debur terkejut merasakan kondisi itu kembali. Hati dan telingaku telah terbiasa merasakan lalu lintas Amerika yang tenang dan tidak bising. Aku merasa asing di kampung sendiri.
Aku shock dengan budaya daerahku sendiri. Benar-benar euphoria yang mendalam. Aku tak ingin membandingkan semua kondisi-kondisi amerika dengan kampungku sendiri karena pasti perbandingannya sangat mutlak terlihat. Aku berusaha mengontrol suasana hatiku senyaman mungkin untuk kembali menjalani kehidupan asalku. Terkadang aku merasa seakan baru kembali dari dunia mimpi.
Sampai di rumah, semua keluarga menyambutku dengan penuh haru karena akhirnya aku bisa pulang dengan selamat. Semua berkomentar “wah, tambah gemuk dan tambah bersih aja kulitnya” Aku hanya menanggapi itu semua dengan senyuman datar. Tidak ada hadiah special yang bisa kuberikan kepada keluargaku. Aku sengaja menyimpan uangku untuk melanjutkan PPL ku di semester itu. aku sudah merencanakan itu semua sejak keberangkatanku dua bulan yang lalu. Jika aku tidak melakukan itu, aku pasti tidak akan bisa menjalani PPL kuliahku.
Kalaupun aku harus membelikan oleh-oleh buat semua orang pasti uangku aka habis dan tidak akan ada yang bisa memberiku suntikan dana buat PPL ku. Aku tahu dana untuk PPL itu sangat besar. Uang yang berhasil kusisihkan dari perantauanku yang dua bulan itu hanya 5 juta rupiah.
Selanjutnya aku menyiapkan mental untuk menghadapi orang-orang yang mengharapkan oleh-oleh dariku. Aku sering terpojok oleh candaan mereka yang meminta oleh-oleh amerika kepadaku. Andaikan saja mereka tahu kalau mayorritas barang-barang yang ada di amerika itu adalah barang-barang buatan cina yang juga ada di indoneisa, pastilah mereka tidak akan menuntutnya dariku.