Selanjutnya aku
kembali kuliah di kampus seperti biasanya. Aku membagikan pensil, stiker dan
kartu pos yang kubeli di Sedona kepada teman-teman kelasku. Sebenarnya aku
merasa malu kepada teman-temanku karena belum bisa memberikan mereka oleh-oleh
yang berarti.
Aku bersyukur
karena teman-temanku bisa memahami kondisiku. Dosen-dosen yang memberiku surat
rekomendasi kuberi sebuah boneka salju. Sedangkan dosen-dosen lain yang
mengajar dikelasku hanya kuberi magnet kulkas.
Bahkan yang
lebih parahnya lagi, aku tidak bisa memberikan oleh-oleh yang berharga buat
para pimpinan tertinggi di kampusku. Aku teringat kisah menyedihkan sebelum keberangkatanku
dua bulan yang lalu.
“nanti, kalau
kamu mau berangkat, beri tahu kami ya, kami akan membuatkan acara pelepasan
untukmu dan akan memberimu sedikit bekal buat kesana” begitulah kalimat yang
dilontarkan oleh salah seorang pimpinan tertinggi di kampusku.
“Iya pak” aku
serasa mendapatkan angin segar waktu itu. “wah sepertinya ada harapan nih” fikirku. Para dosen banyak yang
mengatakan bahwa kampus akan memberiku sedikit bekal uang untuk kesana.
Walaupun tidak terlalu berharap, namun aku sangat membutuhkan itu.
Tiga hari
sebelum pergi akupun menemui pimpinan yang dulunya berjanji kepadaku.
Aku menuju ruangannya dan mengetok
pintu. “Assalamualaikum”
“Ya, silahkan
masuk” aku masuk dengan jantung berdebar kedalam ruangan bapak itu.
“ada yang bisa saya
bantu” beliau bertanya kepadaku
“iya pak, insya
allah saya akan berangkat dua hari lagi” aku menerangkan kepadanya.
“truz?”
“Katanya saya mau diberi acara pelepasan kan
pak”
“wah, gak usah
aja pakai acara pelepasan, selamat jalan aja ya, semoga kamu selamat pulang
pergi ya” beliau langsung berdiri dan menyalamiku.
Aku hanya bisa
menyambut uluran tangannya dengan penuh kebingungan. Aku merasakan seperti ada
pisau yang tajam mengiris-iris hatiku. Perutku lagsung kembung menahan tangisan
dan air mataku yang terasa mau tumpah.
“terima kasih
pak” aku menjawab jabatan tangannya dan meminta diri. Aku langsung berlari keluar
dari gedung itu. Namun, di pintu masuk aku bertemu dengan salah seorang ibu
staf administrasi kampus. Beliau bertanya kepadaku “kapan jadinya acara
pelepasanmu”
“kata bapak Z
aku gak pakai acara pelepasan bu”
“apa?” ibu itu
terkejut
“kamu harus
menemui ketua kampus kita” ibu itu memberiku saran
“kalaupun beliau
juga mengatakan tidak ada pelepasan untuk kepergianmu, setidaknya kamu bilang
bahwa kamu mohon pamit secara pribadi kepada beliau” Ibu itu memberiku nasehat.
Aku kembali naik
ke ruangan pejabat kampusku itu. Aku mengetok ruangan ketua kampusku. Namun aku
langsung dicegat oleh resepsionis. “mau apa?” dia memandangku tajam.
“saya mau menemui
bapak” aku menjawab menahan kembung perutku yang dari tadi ingin menangis.
“ada keperluan
apa kamu menemui bapak” dia menanyaiku lagi masih dengan tatapan tajam tanpa
senyuman.
“aku mau pergi
ke amerika dua hari lagi dan mau pamit sama bapak” aku mencoba menjawab dengan
penuh ketenangan.
Tunggu disini
sebentar. Dia menyuruhku menunggu di kursi. Kulihat dia masuk keruangan bapak
tersebut. kudengar sayup-sayup dia berkata kepada bapak itu.
“pak, mahasiswa yang mau ke amerika itu mau
menemui bapak”
“ya, suruh dia
masuk” kudengar bapak itu menjawab dengan tegas
Setelah
respsionis itu keluar dan menyuruhku masuk, akupun masuk dan mengucap salam.
“assalamualaikum
pak”
“iya, ada apa?”
Aku langsung
duduk walaupun tidak dipersilahkan duduk oleh bapak tersebut.
“saya mohon pamit mau berangkat dua
hari lagi pak” aku menjawab pertanyaannya.
Bapak itu
terlihat terkejut dan berkata “kamu sudah temui bapak Z? kapan acara
pelepasanmu?”
“sudah pak, tapi
beliau bilang tidak ada acara pelepasan untuk saya”
“apa? Tidak mungkin
itu, baiklah nanti kampus akan menghubungi kamu untuk acara pelepasan”
“terima kasih
pak” akupun mohon diri dan lari ke kamar kos sahabatku yang berada dekat
kampus. Aku menumpahka semua tangisanku kepada sahabatku itu. Dia memelukku
erat dan menenangkanku.
Setelah agak
tenang, aku langsung pulang ke rumah dan memutuskan untuk tidak ke kampus lagi
sampai waktu keberangkatanku. Kalaupun nanti kampus menelvonku untuk acara
pelepasan, aku akan datang. Namun jika tidak ada informasi dari kampus, aku akan
tetap pergi walaupun tanpa acara pelepasan tersebut.
Aku memanfaatkan
dua hari yag tersisa itu untuk packing dan mengumpula recehan duit puluhan ribu
dari para tetangga yang bersimpati kepadaku. Aku menggunakan uang bantuan dari
para tetanggaku itu untuk membayar hutang uang sekolah adikku yang masih duduk
di kelas 2 SMA. Menurutku adikku lebih membutuhkan uang itu daripada aku. Toh,
nanti aku juga akan bisa hidup enak di amerika walaupun tanpa uang.
Akhirnya, pada
hari yang telah ditetapkan, aku berangkat diantar oleh bapak, adik, ponakan
laki-lakiku yang masih berumur 3 tahun,
sahabatku serta paman dan bibi yang kebetulan tinggal dekat bandara.
Perjalanan
menuju bandara selama 3 jam menggunakan bus. AKu dan sahabatku duduk didepan. Disepanjang
jalan, sahabatku menggenggam erat tanganku. Air mata kami tumpah dalam diam.
Dia yang telah setia menemani perjuanganku hingga akhirnya hari itu aku bisa
berangkat. Dia yang selalu setia menemaniku dalam semua dukaku. Aku benar-benar
sedih tak berperi mengingat semua yang telah kami lalui. Abang sopir mobil juga
terharu melihat kami yang tak henti-hentinya menangis di sepanjang jalan.
Kulihat dari
spion bus, Bapak dan adikku juga menahan haru di bangku belakang. Aku
memperbanyak zikir supaya tidak terlalu larut dalam kesedihan itu. Aku dan
sahabatku menikmati genggaman tangan terakhir kami sebelum berpisah untuk waktu
yang lama.
Sampainya di
bandara aku makan pagi sebungkus berdua di salah satu pojok bandara dengan
sahabatku. Kami mencoba mengeluarkan senyuman untuk berpisah di pagi itu. kami
telah letih menangis di sepanjang jalan.
Selesai makan
akupun dipanggil oleh paman untuk check in dan masuk ke ruangan tunggu. Pamanku
adalah seorang security di bandara itu. Beliau meminta izin kepada atasannya
untuk mengizinkan keluarga dan sahabatku untuk mengantarku sampai ke ruangan
tunggu penumpang. Benar-benar sebuah kesempatan yang istimewa buat keluarga dan
sahabatku.
Tiba-tiba
sahabatku melihat salah seorang dosen kami juga ada di ruangan itu.
“cha cha liat, itu kan dosen kampus
kita, sapa lah ia” sahabatku menunjuk seorang bapak-bapak berbaju putih di
bagian check in.
“hmm,,nanti ah
ja, kalau sempat”aku tidak begitu tertarik dengan tawaran sahabatku itu.
Saat berpisahpun
tiba, semua melambaikan tangan kepadaku dengan deraian air mata. Sahabtku tidak
sanggup lagi melihatku. Kulihat dia lari ke sebuah pojok Karena tidak sanggup
melepasku dengan tangisan. Kulihat lambaian tangan adik dan bapak dengan rasa
sedih yang sangat dalam. Aku yakin mereka juga mengiringiku dengan doa. Air
mataku mengalir tak henti-hentinya sampai aku terduduk di dalam pesawat.
Tiba-tiba saja,
aku melihat dosen kampusku yang tadi ditunjuk oleh sahabatku duduk tidak jauh
di depanku. AKu mencoba menyapanya.
“bapak, bapak, bapak pakai baju
putih” aku memanggil bapak itu. Bapak itu menoleh dan tersenyum.
“bapak dosen
STAIN kan? Mau kemana pak? Aku mahasiswa STAIN juga pak” aku mencoba
memperkenalkan diri.
“bapak ada acara
di Jakarta. Kamu mau kemana”
“saya mau ke
amerika pak”
“oh ya, kapan
acara pelepasanmu, kok bapak tidak melihat pihak kampus di bandara tadi”
Tanpa sadar aku
langsung keceplosan ngomong “gak ada pak, saya hanya dilepas oleh bapak, adik,
paman, bibi dan sahabat saya” air mataku kembali tergenang.
Kulihat bapak
itu menepuk jidatnya. Aku tak sanggup lagi melihat bapak itu. Aku kembali
hanyut dengan kesedihanku.
Sampai di
bandara soekarno hatta, aku lagsung mencari pihak hotel yang akan menjemputku.
Tidak susah bagiku untuk mencarinya karena dia berdiri di tempat yang mudah
terlihat. Sampai di hotel, aku langsung menuju kamarku untuk beristirahat.
Tiba-tiba
handphoneku berdering “haloo, assalamualaikum”
“waalaikumussalam, reni, ini bapak”
aku mendengar suara bapak-bapak di dalam handphoneku.
“bapak bapak
yang mana?”
“bapak Z, wah, ternyata
kamu udah berangkat ya?”
Deg, jantungku
langsung berdegup. Aku kembali sedih mengingat proses aku menemuinya terakhir
kali.
“ada apa pak,
bukannya saya sudah menemui bapak dan bapak telah mengucapkan selamat jalan
kepada saya” aku mencoba menenangkan diri.
“bapak kira kamu
akan menemui bapak lagi”
“maaf pak, bukan
tipe saya seperti itu. Karena bapak sudah mengucapkan selamat jalan kepada
saya, makanya saya tidak berani lagi menemui bapak” aku menjelaskan dengan
tegas kepadanya.
“Wah,
padahal ada dana satu juta dari kampus untukmu nih. Gimana dunk. Mau dikirim
lewat atm saja atau diambilnya waktu pulang dari amerika saja?”
“Alhamdulillah,
terima kasih pak, kirim lewat atm saja pak” menurutku aku tidak boleh
menunda-nunda waktu lagi untuk menerima dana itu.
“baiklah,
kirimin nomor rekeningmu ya”
“ya pak, terima
kasih pak, asssalamualaikum” telvon pun terputus.
Temanku
bertanya. “siapa yang menelvon res?”
“dosenku”
“ada apa”
“beliau
memberiku uang satu juta”
Temanku
tersenyum dan kembali berkata “kenapa baru diberinya sekarang? “Aku juga dapat
lima juta dari kampusku. Udah dari seminggu yag lalu lagi”
Aku hanya diam
dan tersenyum.
Tak
lama kemudia handponeku kembali bordering. Aku mengangkatnya “halo,
assalamualaikum”
“waalaikumussalam,
reni ini bapak yang tadi ketemu di pesawat. Bapak Z udah menelvon kamu kah kamu
udah berikan nomor rekeningmu ke bapak itu?”
“wah, terima
kasih ya pak, ternyata bapak menelvon bapak Z ya” aku mengucap terima kasih
banyak kepada bapak itu.
Di seberang
telvon kudengar bapak itu tertawa kecil dan mengucapkan selamat jalan kepadaku”
Begitulah kisah
kesedihanku waktu itu. Sekarang aku sudah kembali berada di kampus. Beberapa
orang dosen menyuruhku menemui kembali bapak Z untuk berterima kasih karena
telah membantuku. Menurutku ucapan terima kasihku waktu itu sudah cukup dech,
tapi gak apa juga lah. Sebagai bentuk aku menghargainya. Aku kembali menemui
bapak Z.
“assalamualaikum”
aku masuk ke ruangan bapak itu ditemani oleh sahabatku.
“waalaikumussalam
silahkan masuk” beliau langsung berdiri menyalamiku dan mempersilahkanku duduk.
“bagaimana
kabarnya: bapak itu memulai pembicaraan.
“alhamdullillah
pak, aku telah kembali dengan selamat. Disana aku juga telah belajar dengan
baik”
“Wah, pasti
banyak dapat uang saku nih, bagaimana dengan uang yang bapak beri dulu?”
aku langsung
terkejut “kenapa larinya kesitu sih topik pembicaraan bapak ini” aku bergumam
di dalam hati.
“maaf pak,disana
saya hanya diberi fasilitas yang lengkap dan memadai supaya bisa belajar dengan
lancar dan tenang. Ahamdulillah uang yang bapak beri satu juta itu habis untuk
makan saya selama di bandara jepang” aku menjelaskan dengan penuh ketenangan
dan sedikit tersenyum.
Kulihat bapak
itu hanya diam. Kemudian beliau kembali berkata “baiklah, mungkin nanti kalau
ada lomba debat, kamu akan saya masukkan juga sebagai pesertanya ya”
Aku hanya
tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada bapak itu. Begitulah, aku hanya
memberikan oleh-oleh berupa cerita kepda bapak itu, juga kepada orang-orang di
luar itu. Walaupun aku yakin hal itu bukanlah hal yang mereka harapkan. Namun
aku hanya bisa mencoba nyaman dengan semua itu. Aku telah meniatkan cerita di
novel ini adalah hadiah terbesar buat orang-orang yang telah membantuku saat
itu.
Selanjutnya, aku
menjalani proses kuliahku seperti biasanya dan mengejar semua ketertinggalanku
dengan meminta tagihan tugas kepada semua dosen-dosen mata kuliahku semester
itu.
Alhamdulillah
aku bisa melewati semester itu dengan baik dan lancar.