“Nanti
siang kamu pulang jam berapa? Bisa membantu bapak jualan kelapa muda lagi kan?”
Pagi
yang cerah sebelum berangkat ke kampus, Bapak menanyaiku dengan pertanyaan yang
hampir sama setiap harinya. Saat ini aku duduk di semester 5 jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris di sebuah sekolah tinggi Agama Islam negeri di kampung minang.
Aku masuk ke kampus ini karena mendapatkan formulir PMDK gratis yang sengaja
kuminta kepada wakil kesiswaan saat aku masih SMA karena menurut guru guruku saat itu aku termasuk
kedalam kategori murid berprestasi di SMA
tersebut.
Aku
juga dikenal sebagai anak yang pintar bahasa inggris, Namun, kenyataan sebenarnya
aku tidak memiliki kemampuan apapun dalam berbahasa Inggris.
Alasan para warga sekolah
menganggap aku mahir Berbahasa Inggris karena mereka melihat penampilanku
membawakan pidato Bahasa Inggris dalam sebuah muhadaroh (upacara keagamaan) sekolah.
Sebenarnya teks pidato itu sudah aku hapal semenjak aku masih duduk di bangku SMP. Sehingga kelancaranku dalam
menyampaikannya mereka anggap sebagai sebuah kelebihan. Padahal nilai-nilai
bahasa inggrisku selalu jelek karena aku tidak pernah punya biaya dan
kesempatan untuk mengikuti les bahasa inggris yang sudah lama kuidam-idamkan.
“Kamu
mau lanjut kuliah kemana?” itulah pertanyaan serius yang dilontarkan oleh guru
agamaku di SMA waktu itu.
“Saya
kayaknya gak lanjut kuliah deh bu”
Hari
berikutnya, “Resa mau kuliah kemana habis ini?” guru sosiologi pun menanyaiku
tentang masa depanku
“sepertinya
saya belum bisa lanjut kuliah habis ini deh bu”
Hari
selanjutnya, “Resa bagusnya kuliah ambil jurusan Bahasa Inggris aja ya setelah
tamat di sma ini” guru Bahasa Inggrisku pun mengarahkanku untuk kuliah. Aku
hanya diam dan berusaha untuk tersenyum walaupun rasanya sangat hambar.
“arrrgghhh…”
aku benar-benar sesak mendengar semua pertanyaan dan pernyataan itu.
Hari-hariku
selanjutnya selalu diwarnai
dengan pertanyaan yang hampir sama dari para warga sekolah yang masih sedikit
peduli denganku. Padahal aku sengaja mengambil jurusan ilmu sosial saat
pemilihan jurusan di kelas satu dulu. Walaupun nilai raport dan test IQ ku
memutuskan kalau aku berhak masuk kedalam jurusan IPA yang merupakan jurusan
yang sangat diidam-idamkan oleh hampir semua siswa kelas satu. Termasuk juga aku.
Wali kelasku pun berharap aku mengambil jurusan itu.
Namun,
pikiranku yang masih sangat sempit waktu itu membuatku bersikeras mengambil
jurusan IPS saja, padahal sudah nyata-nyata wali kelasku menuliskan kalimat “naik ke kelas XI IA” aku hanya bisa menahan
tangisan melihat tulisan itu karena aku harus mengambil jurusan IPS walaupun
sangat berat.
Hati
kecilku sebenarnya sangat bahagia menerima kenyataan itu karena menurutku IA
adalah jurusan yang bisa membuat orang-orang menjadi dokter, ilmuwan, dan professor.
Tidak mudah untuk masuk ke jurusan itu di sekolahku dan aku berhasil
mendapatkannya. Namun jurusan IA itu akan sia-sia jika tidak melanjutkan kuliah
setelah tamat SMA.
Disinilah
letak dilema yang membuat aku harus memantapkan hati pada jurusan IPS. Aku
membayangkan masa depanku untuk kuliah sepertinya belum bisa langsung setelah
tamat SMA. Aku harus bekerja dulu setelah tamat SMA untuk bisa mengumpulkan
uang kuliah. Aku melihat bayangan bahwa orang tuaku yang tidak akan punya uang
untuk menguliahkanku. Sebab orang tuaku hanyalah buruh tani dan pemulung serta penjual kelapa muda di
waktu sambilannya. Nah, kalau aku mengambil jurusan IA, bearti ilmu IA ku akan
mengendap selama setahun. Namun, jika aku mengambil jurusan IPS yang berarti di
dalamnya ada ilmu sosial, cara berinteraksi dengan masyarakat, ilmu ekonomi dan
akuntansi yang akan bermanfaat sekali bagiku untuk bekerja setelah tamat SMA
nanti.
Dengan
hati yang mantap aku menyerahkan semua hasil dari keputusanku itu kepada Allah.
Aku mengatakan kepada hatiku “duhai hati, ikhlaslah menjalani semua ini, akan
banyak hal berarti yang akan kau dapati di jurusan IPS ini, semua jurusan itu
sama saja, tergantung bagaimana cara kau menjalaninya, masa depanmu akan cerah
jika kau bersungguh-sungguh belajar di jurusan ini,. kau tahu dan bertanggung
jawab dengan apa yang telah kau pilih ini, hadapilah semuanya dengan senyuman
dan semangat yang tinggi”
Alasan
dari keputusan itu sengaja kurahasiakan hingga tak seorangpun yang tahu sampai
akhirnya aku menulis cerpen ini.
Para guru dan orangtuaku juga sangat heran dengan keputusan yang menurut mereka
tidak beralasan itu.
Episode
itu mulai kujalani sampai di kelas tiga. Namun, para guru malah menyodorkan
beberapa formulir PMDK yang bisa kupilih dari berbagai kampus tersohor di
propinsiku, bahkan ada beberapa dari kampus di pulau Jawa. Namun, sayangnya
setiap formulir PMDK itu dihargai dengan nilai RP.150.000,-. Sedangkan uang
jajanku saja berasal dari upah cleaning service kelas menggantikan tugas piket
semua teman sekelasku yang hanya Rp 45.000,- setiap bulannya. Aku selalu pulang
telat karena menggantikan semua tugas piket temanku setiap harinya. Aku
memanfaatkan uang itu untuk membeli kebutuhan sekolahku sendiri.
Akhirnya
aku hanya merespon tawaran PMDK itu dengan senyuman cengengesan dan berkata
“baiklah pak, buk, saya akan mengambil formulir PMDK itu, tapi adakah yang
gratis?”
“owwwhh…ada,,,,,ada,,,
ini dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri yang dekat rumahmu. Tapi, kamu gak
seharusnya mengambil itu. Kamu harus mengambil di Universitas besar di luar
kota, sebab disana kualitasnya lebih bagus”.
Aku
hanya tersenyum kecut sekecut jeruk purut “biarlah pak, saya mengambil yang
dikampus kecil itu saja, soalnya gratis, he,,he,,,kalaupun nanti diterima, saya
belum tentu akan kuliah pak”
Guruku
saling berpandangan dan mereka menasehatiku beramai-ramai “rezeki itu di tangan
Allah nak, kamu harus yakin dengan itu”, “kalau ada kemauan pasti ada jalan
nak, percayalah itu”, “setiap anak sekolah ada rezekinya sendiri-sendiri nak,
jangan cemas”
Semua
nasehat guru-guruku itu kudengar dengan menahan tangisan perih dihati. Aku
membayangkan wajah ayah dan ibu yang sudah mulai ringkih membesarkan aku, kakak
dan adik. Aku tidak mungkin menambah beban mereka lagi dengan biaya kuliahku nantinya.
“Tapi,
saya tidak bisa Berbahasa
Inggris pak, dan orang tua saya juga gak bakalan punya uang untuk membiayai
kuliah saya itu nantinya pak, untuk makan sehari-haripun sangat susah” aku
mulai terisak dihadapan guru-guruku itu.
“Tenanglah
nak, justru karena kamu tidak tahu apa-apa itulah kamu harus kuliah. Kamu akan
mempelajari semuanya dari dasar di bangku kuliah nantinya. Kalau kamu serius,
kamu pasti berhasil. Kalaupun nanti kamu diterima, ibu akan bantu kamu untuk
membuatkan proposal bantuan dana kuliah kepada Bupati dan Badan Amil Zakat daerah”.
Salah seorang guru agama menasehatiku sambil memegang pundakku. Beliau sangat menyayangiku dan sudah aku anggap
seperti ibuku sendiri. Ibu itu bernama ibu Sulastri. Salah seorang pengasuh
panti asuhan “Alawiyah Zein”.
Panti asuhan itu berada di dekat sekolahku. Bahkan aku
menganggap diriku juga sebagai anak asuh panti asuhan itu tapi anak asuh luar.
Aku
mengisi formulir itu dengan deraian air mata dan berdoa dengan penuh
harap-harap cemas dalam hatiku. “Hasbunallah wanikmal wakil, nikmal maula
wanikman nasyiir” Semuanya kuserahkan pada Allah semata. Setiap niat yang baik dan ikhlas pasti akan dibalasi
oleh Allah.
Saat
pengumuman PMDK itu diterima oleh sekolahku.
Aku terkejut dan sangat senang sekali karena akhirnya aku diterima di kampus
itu.
“Pak,
Alhamdulillah aku lulus PMDK di kampus STAIN. Bayarannya satu juta seratus
tujuh puluh lima ribu pak”. Aku menyampaikan kabar gembira itu kepada Bapakku.
Bapak
terdiam sejenak dan berkata “Wah hebat ya nak, tapi mendaftarnya tahun depan
aja ya, kita kumpulkan dulu uang sejuta
seratus tujuh puluh lima ribunya setahun ini, habis itu kamu baru bisa
mendaftar disana”.
Aku
sangat sedih dan mencari ide agar bisa mengumpulkan uang yang banyak untuk
kuliahku. Ternyata dugaanku selama ini
benar juga kalau aku tidak bisa langsung kuliah setelah tamat SMA.
“Kalau
begitu aku mau jadi TKI aja ya pak seperti Ayu” aku berkata kepada bapak bahwa
aku ingin mengikuti jejak salah seorang
keponakan bapak yang menjadi TKI ke Malaysia. Sebenarnya saat aku kelas dua SMA
aku pernah iseng-iseng berkata kepada Bapak dan Ibu bahwa aku akan jadi TKI
setelah tamat SMA seperti keponakan bapak supaya aku bisa mengumpulkan uang
yang banyak untuk membantu bapak dan
ibu. Saat itu bapak dan ibu mengiyakanku sambil tersenyum. Namun, hari ini
kulihat bapak hanya mengangguk berat.
Malam
harinya aku kembali mengatakan kepada Bapak dan sekarang juga ada ibu bahwa aku
ingin menjadi TKI. Ibu sangat terkejut dan marah kepadaku. Bapak hanya diam.
“Apa??
Mau jadi TKI. Badanmu kecil begini bisa kerja apa nak? Mana ada orang yang mau
menerimamu. Lihatlah di berita, para TKI itu banyak yang hidup tersiksa disana.
Kamu mau pergi mati kesana” ibu benar-benar emosi dan tidak setuju dengan ideku
itu.
“Kalau
begitu aku ingin merantau ke Medan saja bu seperti kakak dahulu. Disana kan aku bisa menjual
rempah-rempah bersama teman kakak itu” aku berusaha mengalihkan ideku.
“Jangan,
tidak boleh, lihatlah kakakmu hanya dua bulan disitu dan harus kembali pulang
karena dia sakit dan tidak bisa melanjutkan pekerjaan itu lagi. Dan sekarang
kamu malah ingin kesana juga” Lagi-lagi ibu tetap tidak setuju dengan
rencanaku.
Aku
langsung berontak dan terbawa emosi “Terus aku harus tetap di rumah, berjualan
kelapa muda, panas-panasan dan duitnya Cuma sedikit. Kapan aku bisa
mengumpulkan uang kuliah kalau begitu. Padahal dulu ibu dan Bapak pernah
mengangguk saat aku menyampaikan keinginanku untuk menjadi TKI setelah tamat
SMA. Namun kenapa sekarang Bapak dan Ibu malah tidak setuju dan tidak memiliki
keputusan yang pasti buat masa depanku.”
Bapak
dan ibu hanya diam dan buntu karena tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa
menangis tersedu-sedu dan mengurung diri di kamar sampai aku tertidur. Di
tengah malam aku terbangun. Aku teringat belum sholat isya dan melanjutkannya dengan sholat
tahajud. Disanalah aku menangis
dan berdoa. Aku teringat dosaku yang telah berbicara keras kepada Bapak dan
Ibu. Akubenar-benar menyesali semua itu. Aku minta petunjuk kepada Allah.
Esok
paginya aku meminta maaf kepada bapak dan ibu. Aku pamit untuk pergi ke rumah
ibu asuhku dipanti asuhan. Aku berjanji akan pulang sebelum sore. Aku
menceritakan semua masalahku kepada ibu asuhku. Ibu asuhku menasehatiku dengan
bijak dan menyuruhku untuk membuat dua buah proposal bantuan dana pendidikan
dan berjanji akan membantuku mengantarkannya kepada temannya yang bekerja di
kantor bupati daerahku.
“Nak,
percayalah Allah itu sayang kepada semua hambanya. Dimana ada keinginan disitu
pasti ada jalan. Allah telah menyiapkan rezekinya untuk setiap umatnya.
Sekarang pulanglah dan coba buat dua buah proposal bantuan dana pendidikan.
Besok serahkan proposal itu kepada ibu dan ibu akan membantumu”
Aku
pulang dengan secercah harapan dan langsung menuju ke sebuah rental komputer yang
ada di kampungku. Disana aku meminta contoh proposal bantuan dana pendidikan
dan aku mengeditnya sesuai kebutuhanku.
Sesuai
janji, proposal itu kuberikan kepada ibu asuhku dan beliau menemaniku ke kantor
bupati dan badan amil zakat daerahku. Namun, aku tidak menyangka, sebelum pergi
ke tempat yang dituju, ibu asuhku menemaniku untuk menemui bapak dan ibu untuk
memohon doa restu mereka agar proposal itu bisa tembus.
Sebulan
setelah proposal itu masuk, aku mendapat berita gembira bahwa proposalku di acc dan dananya bisa segera dicairkan. Akhirnya aku
mendapatkan bantuan dana sebesar satu juta rupiah dari badan amil zakat dan
pemerintah daerahku. Sisanya diusahakan oleh bapak dengan meminjam uang kepada
tetangga.
Aku
bertekad untuk mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya di bangku kuliah. Aku mulai
menorehkan mimpi-mimpi indah dan target-target pencapaianku untuk beberapa
tahun kedepannya.
Umur 21: mendapatkan penghasilan dari
freelance bahasa inggris, nilai-nilai kuliah bagus
Umur
22: naik pesawat gratis, mendapatkan beasiswa luar negri
Umur
23: naik pesawat gratis. beasiswa s2
Umur
24: naik pesawat gratis, lulus s2
Umur
25: naik pesawat gratis, menikah
Mimpi-mimpi
itu membuatku selalu bersemangat berangkat ke kampus setiap paginya.
Namun
pertanyaan Bapak yang merupakan harapan agar aku punya waktu luang untuk
membantu beliau berjualan kelapa muda sepulang sekolah menjadi beban tersendiri
bagiku.
“Insya
allah pak” aku selalu menjawab dengan jawaban yang sama setiap paginya dan di
dalam hatiku terselip perasaan merasa terbebani. Namun, pikiran sehatku selalu
menuntun hatiku untuk menjalani semua itu denga penuh keikhlasan sebab
orangtuaku juga sangat membutuhkanku. Memang,
di dalam keluargaku tidak ada anak laki-laki yang
bisa diharapkan untuk membantu bapak bekerja keras.
Di
waktu libur aku selalu mengikuti bapak ke kebun mencari kelapa dan memikulnya
dalam jarak kiloan meter sampai ke rumah atau ke warung. Tanganku sudah kebal
dan terasa kasar setiap kali bersalaman dengan teman-teman. Namun aku tidak
pernah merasa malu akan hal itu karena itulah kehidupan yang dititipkan Allah
buatku.
Kata
bapak dan ibu, jika aku yang berjualan di warung, rezeki kami Alhamdulillah
selalu berlebih jika dibandingkan dengan bapak dan ibu yang berjualan, mungkin
karena aku pintar bercerita dan selalu tersenyum manis kepada setiap pembeliku
dan para pembeli sangat senang dengan kebiasaanku itu. Setiap ada pembeli baru
diwarungku, biasanya akan merasa ragu akan kemahiranku dalam mengayunkan parang
sewaktu mencincang-cincang kulit kelapa muda sampai air dan isinya kukerok
habis keluar.
“awasss,,tangannya
nanti luka,,,awasss,,,” para pembeli baru selalu berteriak cemas melihatku
“insya
allah,,aman kok” aku selalu menjawabnya diiringi dengan senyuman khasku.
Sungguh,
warna warni kehidupanku yang seperti itu membuatku semakin kuat dan tegar untuk
menghadapinya dengan senyuman demi sebuah impian naik pesawat gratis.
Impian
itu terus kujaga dan selalu menjadi motivasi terbesarku dalam menjalani
hari-hariku sampai impian itu menjadi kenyataan.
Entah
kenapa siang itu di kampus temanku membakar emosi positifku. Dia datang
menghampiriku dan membakar semangatku untuk bisa berprestasi seperti dia.
“Eh,
aku mau ikut lomba debath lo, temanku itu
mulai membuka pembicaraan denganku.
“Oh,
benarkah?” aku ikut gembira mendengarnya.
“Tapi,,aku
belum mendapatkan partner nih, soalnya lomba debat itu harus per tim yang
terdiri dari dua orang dan ketua program studi kita menyuruhku untuk mencari partnerku buat lomba dalam
waktu seminggu ini” sahabatku itu menyampaikan kecemasannya kepadaku. Aku
serasa mendapatkan angin segar berupa peluang untuk bisa ikut serta dalam lomba
itu. Walaupun aku sendiri tidak yakin akan kemampuanku.
“Hmmm,,,ya
udah deh, mending kamu rekomendasiin aku aja” aku iseng menawarkan diri
kepadanya.
“What,,,You,,,,?”
sahabatku itu terkejut dan melihatku heran.
“Hmmm,,,I
am so sorry,,,aku gak bisa,,,apa you yakin bisa berbicara di depan umum selama
5 menit full berbahasa
inggris,,,aku udah tau kok kemampuanmu” temanku itu merespon penawaranku dengan
kalimat yang begitu menusuk hatiku. Aku gak menyangka dia akan berkata begitu.
“Why not,,aku kan juga bisa berbicara dalam
bahasa inggris..”jawabku cengengesan, aku mau melihat ketulusan dia dalam
menghargai aku sebagai sahabatnya. Tapi dia malah mengeluarkan kalimat yang
menambah luka hatiku.
“Ha,,ha,,ha,,ndak
mungkin you bisa lah,nanti kalau ditanya sama lawan dan juri, kamu mau jawab
apa,,ini 5 menit lo,,,”
Aku
semakin panas dan mencoba menjawab dengan penuh rasa cuek “yaa,,,jika hal itu
terjadi,,aku akan berikan senyum termanisku buat mereka,,he,,he,,he,,”
Dia
terlihat semakin panas melihat sikapku yang dianggapnya tidak tahu diri itu.
“Pokoknya
aku tidak akan merekomendasikan kamu!” dia bersikeras. Aku hanya bisa tersenyum
dan bergumam di dalam hati
“Sahabat,,sahabat,,kamu
gak boleh meremehkan orang lain dengan begitu mudahnya donk,,suatu saat bisa
jadi dia memiliki kelebihan yang tidak kamu miliki”
Memang,
untuk menghadapi sahabatku yang satu ini aku sering menahan kesabaran dengan
ceplosan kata-katanya yang sering menyinggung hati dan sering terkesan angkuh
dan sombong seakan-akan dia adalah orang paling hebat yang pernah ada di
kampusku.
Tidak
hanya aku yang beranggapan demikian. Hampir semua mahasiswa jurusanku yang satu
angkatan denganku mengatakannya begitu karena mereka juga sering menjadi
semprotan keangkuhan dan remehan darinya.
Aku
seperti sudah sangat kebal dengan sikapnya itu. Aku masih bisa bertahan di
dekatnya karena dia juga memiliki banyak kelebihan di bidang akademik dan seni
menghadapi hidup. Dia adalah anak yang rajin dan selalu melaksanakan setiap
tugas yang diberikan dosen dengan penuh semangat dan kerja keras. Makanya aku
selalu berusaha menyerap sifat-sifat positifnya itu dalam keseharianku.
Aku
juga udah pernah mendapatkan cemoohan serupa dari teman-temanku saat SMA dulu
termasuk juga dari sahabatku waktu SMA.
“Kamu
diterima PMDK di jurusan Bahasa Inggris ya di kampus kecil yang dekat rumahmu
itu…ah aku gak percaya kamu diterima disana” ini adalah lontaran kalimat dari dua
orang sahabatku waktu SMA. Memang, waktu SMA aku mempunyai 4 orang sahabat
dekat. Kami memiliki banyak kisah dan kenangan sampai kami berhasil mendirikan
grup ROHIS (rohani islam). Namun mereka mulai menjauhiku saat aku ikut fashion
show busana muslim. Menurut mereka aku telah melanggar ajaran Agama Islam karena
keikut sertaanku dalam acara fashion show busana muslim itu.
“Mereka
juga memprofokatori salah seorang Pembina kami yang waktu itu masih duduk di
bangku kuliah semester tiga. Dipimpin oleh salah seorang Pembina akhwat yang
masih mahasiswi itu, mereka mengadiliku bersama-sama dipojok teras pustaka.
Begitu segar diingatanku saat mereka melontarkan kata-kata yang menghujam
hatiku. Mereka mengatakan kalau aku adalah orang munafik dan telah melanggar
perintah agama. Sejak saat itu mereka menjauhiku. Oh tuhan, begitu fanatiknya
mereka.
Sampai
akhirnya aku tahu setelah aku kuliah di tempat yang sama dengan pembina rohisku
itu. Ternyata dia lebih munafik lagi dari aku. Aku mendapat kabar dari
akhwat-akhwat wisma bahwa dia termasuk salah seorang kader dakwah kampus yang
tidak bisa dibina lagi karena melakukan hubungan pacaran diluar ikatan
pernikahan. Aku hanya tersenyum dan berkata di dalam hati “ternyata dia telah
memakan kata-katanya sendiri”
Cemoohan
lain yang juga menghujam hatiku waktu SMA adalah dari salah seorang teman
sekelasku yang terkenal sangat pintar dalam hal public speaking. Dia
menginterogasiku dalam-dalam saat dia tahu kalau aku lulus PMDK di jurusan Bahasa
Inggris kampus yang dekat dengan rumahku.
“Kamu
mengambil kuliah jurusan bahasa inggris mau jadi apa?”
“Aku
ingin jadi pemandu wisata” jawabku dengan polosnya
“Ha,,ha,,ha,,kalau
mau jadi pemandu wisata, ngapain kamu capek-capek kuliah di jurusan bahasa
inggris selama empat tahun, mending kamu ikut saja les Bahasa Inggris singkat
selama 6 bulan atau satu
tahun di kota Propinsi.”
Aku
membayangkan pasti uang untuk les itu sangat besar sekali jumlahnya. Lalu aku
mengganti jawabanku,
“Aku
ingin jadi guru,,,”
“Ha,,ha,,ha,,
kalau mau jadi guru, ngapain kamu kuliah di kampus kecil itu, kampus Islam lagi,
mending kamu kuliah aja di Universitas Negeri Padang yang jelas-jelas untuk
tempat kuliahnya orang yang mau jadi guru. Lagian Bahasa Inggris itu dunia
maksiat, gak cocok banget sama kamu yang berjilbab dalam kayak gini.”
“Dunia
maksiat? Maksudmu apa” aku bertanya balik kepadanya
“Ya
iyalah,,,,tengoklah,,yang dipelajari di Bahasa Inggris itu kebudayaan
orang-orang barat yang gak sesuai sama ajaran Islam”
Sepertinya
dia sengaja memancing emosiku. Aku menahan emosi negatifku yang mulai
meluap-luap. Aku mengunci pembicaraannya dengan kalimat yang tidak mungkin bisa
dibantahnya lagi “ya,terserah kamulah mau ngomong apapun. Yang jelas aku
memilih jurusan bahasa Inggris supaya aku bisa berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris.
Musuh Islam yang paling besar adalah orang-orang
yang pintar berbahasa Inggris. Bagaimana kita bisa
berdakwah kepada mereka kalau kita tidak memahami bahasa mereka. Mudah-mudahan
suatu saat aku bisa ke Amerika.”
Temanku
itu hanya diam dan pergi dengan ekspresi sangat kesal karena tidak berhasil
memojokkanku hari itu.
Aku
bertekad di dalam hati akan kuliah dengan sungguh-sungguh natinya dan ingin
membuktikan kepadanya kalau aku bisa berhasil dalam jurusan bahasa inggris
walaupun aku memiliki pengetahuan dasar yang sangat minim di bidang itu.