Pengikut

Jumat, 24 Juli 2015

My Live is My Adventure

“Nanti siang kamu pulang jam berapa? Bisa membantu bapak jualan kelapa muda lagi kan?”
Pagi yang cerah sebelum berangkat ke kampus, Bapak menanyaiku dengan pertanyaan yang hampir sama setiap harinya. Saat ini aku duduk di semester 5 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di sebuah sekolah tinggi Agama Islam negeri di kampung minang. Aku masuk ke kampus ini karena mendapatkan formulir PMDK gratis yang sengaja kuminta kepada wakil kesiswaan saat aku masih SMA karena menurut guru guruku saat itu aku termasuk kedalam kategori murid berprestasi di SMA tersebut.
Aku juga dikenal sebagai anak yang pintar bahasa inggris, Namun, kenyataan sebenarnya aku tidak memiliki kemampuan apapun dalam berbahasa Inggris. Alasan para warga sekolah menganggap aku mahir Berbahasa Inggris karena mereka melihat penampilanku membawakan pidato Bahasa Inggris dalam sebuah muhadaroh (upacara keagamaan) sekolah. Sebenarnya teks pidato itu sudah aku hapal semenjak aku masih duduk di bangku SMP. Sehingga kelancaranku dalam menyampaikannya mereka anggap sebagai sebuah kelebihan. Padahal nilai-nilai bahasa inggrisku selalu jelek karena aku tidak pernah punya biaya dan kesempatan untuk mengikuti les bahasa inggris yang sudah lama kuidam-idamkan.
“Kamu mau lanjut kuliah kemana?” itulah pertanyaan serius yang dilontarkan oleh guru agamaku di SMA  waktu itu.
“Saya kayaknya gak lanjut kuliah deh bu”
Hari berikutnya, “Resa mau kuliah kemana habis ini?” guru sosiologi pun menanyaiku tentang masa depanku
“sepertinya saya belum bisa lanjut kuliah habis ini deh bu”
Hari selanjutnya, “Resa bagusnya kuliah ambil jurusan Bahasa Inggris aja ya setelah tamat di sma ini” guru Bahasa Inggrisku pun mengarahkanku untuk kuliah. Aku hanya diam dan berusaha untuk tersenyum walaupun rasanya sangat hambar.
“arrrgghhh…” aku benar-benar sesak mendengar semua pertanyaan dan pernyataan itu.
Hari-hariku selanjutnya selalu diwarnai dengan pertanyaan yang hampir sama dari para warga sekolah yang masih sedikit peduli denganku. Padahal aku sengaja mengambil jurusan ilmu sosial saat pemilihan jurusan di kelas satu dulu. Walaupun nilai raport dan test IQ ku memutuskan kalau aku berhak masuk kedalam jurusan IPA yang merupakan jurusan yang sangat diidam-idamkan oleh hampir semua siswa kelas satu. Termasuk juga aku. Wali kelasku pun berharap aku mengambil jurusan itu.
Namun, pikiranku yang masih sangat sempit waktu itu membuatku bersikeras mengambil jurusan IPS saja, padahal sudah nyata-nyata wali kelasku menuliskan kalimat “naik ke kelas XI IA” aku hanya bisa menahan tangisan melihat tulisan itu karena aku harus mengambil jurusan IPS walaupun sangat berat.
Hati kecilku sebenarnya sangat bahagia menerima kenyataan itu karena menurutku IA adalah jurusan yang bisa membuat orang-orang menjadi dokter, ilmuwan, dan professor. Tidak mudah untuk masuk ke jurusan itu di sekolahku dan aku berhasil mendapatkannya. Namun jurusan IA itu akan sia-sia jika tidak melanjutkan kuliah setelah tamat SMA.
Disinilah letak dilema yang membuat aku harus memantapkan hati pada jurusan IPS. Aku membayangkan masa depanku untuk kuliah sepertinya belum bisa langsung setelah tamat SMA. Aku harus bekerja dulu setelah tamat SMA untuk bisa mengumpulkan uang kuliah. Aku melihat bayangan bahwa orang tuaku yang tidak akan punya uang untuk menguliahkanku. Sebab orang tuaku hanyalah buruh tani dan pemulung serta penjual kelapa muda di waktu sambilannya. Nah, kalau aku mengambil jurusan IA, bearti ilmu IA ku akan mengendap selama setahun. Namun, jika aku mengambil jurusan IPS yang berarti di dalamnya ada ilmu sosial, cara berinteraksi dengan masyarakat, ilmu ekonomi dan akuntansi yang akan bermanfaat sekali bagiku untuk bekerja setelah tamat SMA nanti.
Dengan hati yang mantap aku menyerahkan semua hasil dari keputusanku itu kepada Allah. Aku mengatakan kepada hatiku “duhai hati, ikhlaslah menjalani semua ini, akan banyak hal berarti yang akan kau dapati di jurusan IPS ini, semua jurusan itu sama saja, tergantung bagaimana cara kau menjalaninya, masa depanmu akan cerah jika kau bersungguh-sungguh belajar di jurusan ini,. kau tahu dan bertanggung jawab dengan apa yang telah kau pilih ini, hadapilah semuanya dengan senyuman dan semangat yang tinggi”
Alasan dari keputusan itu sengaja kurahasiakan hingga tak seorangpun yang tahu sampai akhirnya aku menulis cerpen ini. Para guru dan orangtuaku juga sangat heran dengan keputusan yang menurut mereka tidak beralasan itu.
Episode itu mulai kujalani sampai di kelas tiga. Namun, para guru malah menyodorkan beberapa formulir PMDK yang bisa kupilih dari berbagai kampus tersohor di propinsiku, bahkan ada beberapa dari kampus di pulau Jawa. Namun, sayangnya setiap formulir PMDK itu dihargai dengan nilai RP.150.000,-. Sedangkan uang jajanku saja berasal dari upah cleaning service kelas menggantikan tugas piket semua teman sekelasku yang hanya Rp 45.000,- setiap bulannya. Aku selalu pulang telat karena menggantikan semua tugas piket temanku setiap harinya. Aku memanfaatkan uang itu untuk membeli kebutuhan sekolahku sendiri.
Akhirnya aku hanya merespon tawaran PMDK itu dengan senyuman cengengesan dan berkata “baiklah pak, buk, saya akan mengambil formulir PMDK itu, tapi adakah yang gratis?
“owwwhh…ada,,,,,ada,,, ini dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri yang dekat rumahmu. Tapi, kamu gak seharusnya mengambil itu. Kamu harus mengambil di Universitas besar di luar kota, sebab disana kualitasnya lebih bagus”.
Aku hanya tersenyum kecut sekecut jeruk purut “biarlah pak, saya mengambil yang dikampus kecil itu saja, soalnya gratis, he,,he,,,kalaupun nanti diterima, saya belum tentu akan kuliah pak”
Guruku saling berpandangan dan mereka menasehatiku beramai-ramai “rezeki itu di tangan Allah nak, kamu harus yakin dengan itu”, “kalau ada kemauan pasti ada jalan nak, percayalah itu”, “setiap anak sekolah ada rezekinya sendiri-sendiri nak, jangan cemas”
Semua nasehat guru-guruku itu kudengar dengan menahan tangisan perih dihati. Aku membayangkan wajah ayah dan ibu yang sudah mulai ringkih membesarkan aku, kakak dan adik. Aku tidak mungkin menambah beban mereka lagi dengan biaya kuliahku nantinya.
“Tapi, saya tidak bisa Berbahasa Inggris pak, dan orang tua saya juga gak bakalan punya uang untuk membiayai kuliah saya itu nantinya pak, untuk makan sehari-haripun sangat susah” aku mulai terisak dihadapan guru-guruku itu.
“Tenanglah nak, justru karena kamu tidak tahu apa-apa itulah kamu harus kuliah. Kamu akan mempelajari semuanya dari dasar di bangku kuliah nantinya. Kalau kamu serius, kamu pasti berhasil. Kalaupun nanti kamu diterima, ibu akan bantu kamu untuk membuatkan proposal bantuan dana kuliah kepada Bupati dan Badan Amil Zakat daerah”. Salah seorang guru agama menasehatiku sambil memegang pundakku. Beliau  sangat menyayangiku dan sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Ibu itu bernama ibu Sulastri. Salah seorang pengasuh panti asuhan “Alawiyah Zein”. Panti asuhan itu berada di dekat sekolahku. Bahkan aku menganggap diriku juga sebagai anak asuh panti asuhan itu tapi anak asuh luar.
Aku mengisi formulir itu dengan deraian air mata dan berdoa dengan penuh harap-harap cemas dalam hatiku. “Hasbunallah wanikmal wakil, nikmal maula wanikman nasyiir” Semuanya kuserahkan pada Allah semata. Setiap niat yang baik dan ikhlas pasti akan dibalasi oleh Allah.
Saat pengumuman PMDK itu diterima oleh sekolahku. Aku terkejut dan sangat senang sekali karena akhirnya aku diterima di kampus itu.
“Pak, Alhamdulillah aku lulus PMDK di kampus STAIN. Bayarannya satu juta seratus tujuh puluh lima ribu pak”. Aku menyampaikan kabar gembira itu kepada Bapakku.
Bapak terdiam sejenak dan berkata “Wah hebat ya nak, tapi mendaftarnya tahun depan aja  ya, kita kumpulkan dulu uang sejuta seratus tujuh puluh lima ribunya setahun ini, habis itu kamu baru bisa mendaftar disana”.
Aku sangat sedih dan mencari ide agar bisa mengumpulkan uang yang banyak untuk kuliahku. Ternyata dugaanku selama  ini benar juga kalau aku tidak bisa langsung kuliah setelah tamat SMA.
“Kalau begitu aku mau jadi TKI aja ya pak seperti Ayu” aku berkata kepada bapak bahwa aku ingin mengikuti jejak  salah seorang keponakan bapak yang menjadi TKI ke Malaysia. Sebenarnya saat aku kelas dua SMA aku pernah iseng-iseng berkata kepada Bapak dan Ibu bahwa aku akan jadi TKI setelah tamat SMA seperti keponakan bapak supaya aku bisa mengumpulkan uang yang banyak untuk membantu  bapak dan ibu. Saat itu bapak dan ibu mengiyakanku sambil tersenyum. Namun, hari ini kulihat bapak hanya mengangguk berat.
Malam harinya aku kembali mengatakan kepada Bapak dan sekarang juga ada ibu bahwa aku ingin menjadi TKI. Ibu sangat terkejut dan marah kepadaku. Bapak hanya diam.
“Apa?? Mau jadi TKI. Badanmu kecil begini bisa kerja apa nak? Mana ada orang yang mau menerimamu. Lihatlah di berita, para TKI itu banyak yang hidup tersiksa disana. Kamu mau pergi mati kesana” ibu benar-benar emosi dan tidak setuju dengan ideku itu.
“Kalau begitu aku ingin merantau ke Medan saja bu seperti kakak dahulu. Disana kan aku bisa menjual rempah-rempah bersama teman kakak itu” aku berusaha mengalihkan ideku.
“Jangan, tidak boleh, lihatlah kakakmu hanya dua bulan disitu dan harus kembali pulang karena dia sakit dan tidak bisa melanjutkan pekerjaan itu lagi. Dan sekarang kamu malah ingin kesana juga” Lagi-lagi ibu tetap tidak setuju dengan rencanaku.
Aku langsung berontak dan terbawa emosi “Terus aku harus tetap di rumah, berjualan kelapa muda, panas-panasan dan duitnya Cuma sedikit. Kapan aku bisa mengumpulkan uang kuliah kalau begitu. Padahal dulu ibu dan Bapak pernah mengangguk saat aku menyampaikan keinginanku untuk menjadi TKI setelah tamat SMA. Namun kenapa sekarang Bapak dan Ibu malah tidak setuju dan tidak memiliki keputusan yang pasti buat masa depanku.”
Bapak dan ibu hanya diam dan buntu karena tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu dan mengurung diri di kamar sampai aku tertidur. Di tengah malam aku terbangun. Aku teringat belum sholat isya dan melanjutkannya dengan sholat tahajud. Disanalah aku menangis dan berdoa. Aku teringat dosaku yang telah berbicara keras kepada Bapak dan Ibu. Akubenar-benar menyesali semua itu. Aku minta petunjuk kepada Allah.
Esok paginya aku meminta maaf kepada bapak dan ibu. Aku pamit untuk pergi ke rumah ibu asuhku dipanti asuhan. Aku berjanji akan pulang sebelum sore. Aku menceritakan semua masalahku kepada ibu asuhku. Ibu asuhku menasehatiku dengan bijak dan menyuruhku untuk membuat dua buah proposal bantuan dana pendidikan dan berjanji akan membantuku mengantarkannya kepada temannya yang bekerja di kantor bupati daerahku.
“Nak, percayalah Allah itu sayang kepada semua hambanya. Dimana ada keinginan disitu pasti ada jalan. Allah telah menyiapkan rezekinya untuk setiap umatnya. Sekarang pulanglah dan coba buat dua buah proposal bantuan dana pendidikan. Besok serahkan proposal itu kepada ibu dan ibu akan membantumu”
Aku pulang dengan secercah harapan dan langsung menuju ke sebuah rental komputer yang ada di kampungku. Disana aku meminta contoh proposal bantuan dana pendidikan dan aku mengeditnya sesuai  kebutuhanku.
Sesuai janji, proposal itu kuberikan kepada ibu asuhku dan beliau menemaniku ke kantor bupati dan badan amil zakat daerahku. Namun, aku tidak menyangka, sebelum pergi ke tempat yang dituju, ibu asuhku menemaniku untuk menemui bapak dan ibu untuk memohon doa restu mereka agar proposal itu bisa tembus.
Sebulan setelah proposal itu masuk, aku mendapat berita gembira bahwa proposalku di acc dan dananya bisa segera dicairkan. Akhirnya aku mendapatkan bantuan dana sebesar satu juta rupiah dari badan amil zakat dan pemerintah daerahku. Sisanya diusahakan oleh bapak dengan meminjam uang kepada tetangga.
Aku bertekad untuk mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya di bangku kuliah. Aku mulai menorehkan mimpi-mimpi indah dan target-target pencapaianku untuk beberapa tahun kedepannya.
Umur 21: mendapatkan penghasilan dari freelance bahasa inggris, nilai-nilai kuliah bagus
Umur 22: naik pesawat gratis, mendapatkan beasiswa luar negri
Umur 23: naik pesawat gratis. beasiswa s2
Umur 24: naik pesawat gratis, lulus s2
Umur 25: naik pesawat gratis, menikah
Mimpi-mimpi itu membuatku selalu bersemangat berangkat ke kampus setiap paginya.
Namun pertanyaan Bapak yang merupakan harapan agar aku punya waktu luang untuk membantu beliau berjualan kelapa muda sepulang sekolah menjadi beban tersendiri bagiku.
“Insya allah pak” aku selalu menjawab dengan jawaban yang sama setiap paginya dan di dalam hatiku terselip perasaan merasa terbebani. Namun, pikiran sehatku selalu menuntun hatiku untuk menjalani semua itu denga penuh keikhlasan sebab orangtuaku juga sangat membutuhkanku. Memang, di dalam keluargaku tidak ada anak laki-laki yang bisa diharapkan untuk membantu bapak bekerja keras.
Di waktu libur aku selalu mengikuti bapak ke kebun mencari kelapa dan memikulnya dalam jarak kiloan meter sampai ke rumah atau ke warung. Tanganku sudah kebal dan terasa kasar setiap kali bersalaman dengan teman-teman. Namun aku tidak pernah merasa malu akan hal itu karena itulah kehidupan yang dititipkan Allah buatku.
Kata bapak dan ibu, jika aku yang berjualan di warung, rezeki kami Alhamdulillah selalu berlebih jika dibandingkan dengan bapak dan ibu yang berjualan, mungkin karena aku pintar bercerita dan selalu tersenyum manis kepada setiap pembeliku dan para pembeli sangat senang dengan kebiasaanku itu. Setiap ada pembeli baru diwarungku, biasanya akan merasa ragu akan kemahiranku dalam mengayunkan parang sewaktu mencincang-cincang kulit kelapa muda sampai air dan isinya kukerok habis keluar.
“awasss,,tangannya nanti luka,,,awasss,,,” para pembeli baru selalu berteriak cemas melihatku
“insya allah,,aman kok” aku selalu menjawabnya diiringi dengan senyuman khasku.
Sungguh, warna warni kehidupanku yang seperti itu membuatku semakin kuat dan tegar untuk menghadapinya dengan senyuman demi sebuah impian naik pesawat gratis.
Impian itu terus kujaga dan selalu menjadi motivasi terbesarku dalam menjalani hari-hariku sampai impian itu menjadi kenyataan.
Entah kenapa siang itu di kampus temanku membakar emosi positifku. Dia datang menghampiriku dan membakar semangatku untuk bisa berprestasi seperti dia.
“Eh, aku mau ikut lomba debath lo, temanku itu mulai membuka pembicaraan denganku.
“Oh, benarkah?” aku ikut gembira mendengarnya.
“Tapi,,aku belum mendapatkan partner nih, soalnya lomba debat itu harus per tim yang terdiri dari dua orang dan ketua program studi kita menyuruhku untuk mencari partnerku buat lomba dalam waktu seminggu ini” sahabatku itu menyampaikan kecemasannya kepadaku. Aku serasa mendapatkan angin segar berupa peluang untuk bisa ikut serta dalam lomba itu. Walaupun aku sendiri tidak yakin akan kemampuanku.
“Hmmm,,,ya udah deh, mending kamu rekomendasiin aku aja” aku iseng menawarkan diri kepadanya.
“What,,,You,,,,?” sahabatku itu terkejut dan melihatku heran.
“Hmmm,,,I am so sorry,,,aku gak bisa,,,apa you yakin bisa berbicara di depan umum selama 5 menit full berbahasa inggris,,,aku udah tau kok kemampuanmu” temanku itu merespon penawaranku dengan kalimat yang begitu menusuk hatiku. Aku gak menyangka dia akan berkata begitu.
 “Why not,,aku kan juga bisa berbicara dalam bahasa inggris..”jawabku cengengesan, aku mau melihat ketulusan dia dalam menghargai aku sebagai sahabatnya. Tapi dia malah mengeluarkan kalimat yang menambah luka hatiku.
“Ha,,ha,,ha,,ndak mungkin you bisa lah,nanti kalau ditanya sama lawan dan juri, kamu mau jawab apa,,ini 5 menit lo,,,”
Aku semakin panas dan mencoba menjawab dengan penuh rasa cuek “yaa,,,jika hal itu terjadi,,aku akan berikan senyum termanisku buat mereka,,he,,he,,he,,”
Dia terlihat semakin panas melihat sikapku yang dianggapnya tidak tahu diri itu.
“Pokoknya aku tidak akan merekomendasikan kamu!” dia bersikeras. Aku hanya bisa tersenyum dan bergumam di dalam hati
“Sahabat,,sahabat,,kamu gak boleh meremehkan orang lain dengan begitu mudahnya donk,,suatu saat bisa jadi dia memiliki kelebihan yang tidak kamu miliki”
Memang, untuk menghadapi sahabatku yang satu ini aku sering menahan kesabaran dengan ceplosan kata-katanya yang sering menyinggung hati dan sering terkesan angkuh dan sombong seakan-akan dia adalah orang paling hebat yang pernah ada di kampusku.
Tidak hanya aku yang beranggapan demikian. Hampir semua mahasiswa jurusanku yang satu angkatan denganku mengatakannya begitu karena mereka juga sering menjadi semprotan keangkuhan dan remehan darinya.
Aku seperti sudah sangat kebal dengan sikapnya itu. Aku masih bisa bertahan di dekatnya karena dia juga memiliki banyak kelebihan di bidang akademik dan seni menghadapi hidup. Dia adalah anak yang rajin dan selalu melaksanakan setiap tugas yang diberikan dosen dengan penuh semangat dan kerja keras. Makanya aku selalu berusaha menyerap sifat-sifat positifnya itu dalam keseharianku.
Aku juga udah pernah mendapatkan cemoohan serupa dari teman-temanku saat SMA dulu termasuk juga dari sahabatku waktu SMA.
“Kamu diterima PMDK di jurusan Bahasa Inggris ya di kampus kecil yang dekat rumahmu itu…ah aku gak percaya kamu diterima disana” ini adalah lontaran kalimat dari dua orang sahabatku waktu SMA. Memang, waktu SMA aku mempunyai 4 orang sahabat dekat. Kami memiliki banyak kisah dan kenangan sampai kami berhasil mendirikan grup ROHIS (rohani islam). Namun mereka mulai menjauhiku saat aku ikut fashion show busana muslim. Menurut mereka aku telah melanggar ajaran Agama Islam karena keikut sertaanku dalam acara fashion show busana muslim itu.

“Mereka juga memprofokatori salah seorang Pembina kami yang waktu itu masih duduk di bangku kuliah semester tiga. Dipimpin oleh salah seorang Pembina akhwat yang masih mahasiswi itu, mereka mengadiliku bersama-sama dipojok teras pustaka. Begitu segar diingatanku saat mereka melontarkan kata-kata yang menghujam hatiku. Mereka mengatakan kalau aku adalah orang munafik dan telah melanggar perintah agama. Sejak saat itu mereka menjauhiku. Oh tuhan, begitu fanatiknya mereka. 
Sampai akhirnya aku tahu setelah aku kuliah di tempat yang sama dengan pembina rohisku itu. Ternyata dia lebih munafik lagi dari aku. Aku mendapat kabar dari akhwat-akhwat wisma bahwa dia termasuk salah seorang kader dakwah kampus yang tidak bisa dibina lagi karena melakukan hubungan pacaran diluar ikatan pernikahan. Aku hanya tersenyum dan berkata di dalam hati “ternyata dia telah memakan kata-katanya sendiri”
Cemoohan lain yang juga menghujam hatiku waktu SMA adalah dari salah seorang teman sekelasku yang terkenal sangat pintar dalam hal public speaking. Dia menginterogasiku dalam-dalam saat dia tahu kalau aku lulus PMDK di jurusan Bahasa Inggris kampus yang dekat dengan rumahku.
“Kamu mengambil kuliah jurusan bahasa inggris mau jadi apa?”
“Aku ingin jadi pemandu wisata” jawabku dengan polosnya
“Ha,,ha,,ha,,kalau mau jadi pemandu wisata, ngapain kamu capek-capek kuliah di jurusan bahasa inggris selama empat tahun, mending kamu ikut saja les Bahasa Inggris singkat selama 6 bulan atau satu tahun di kota Propinsi.”
Aku membayangkan pasti uang untuk les itu sangat besar sekali jumlahnya. Lalu aku mengganti jawabanku,
“Aku ingin jadi guru,,,”
“Ha,,ha,,ha,, kalau mau jadi guru, ngapain kamu kuliah di kampus kecil itu, kampus Islam lagi, mending kamu kuliah aja di Universitas Negeri Padang yang jelas-jelas untuk tempat kuliahnya orang yang mau jadi guru. Lagian Bahasa Inggris itu dunia maksiat, gak cocok banget sama kamu yang berjilbab dalam kayak gini.”
“Dunia maksiat? Maksudmu apa” aku bertanya balik kepadanya
“Ya iyalah,,,,tengoklah,,yang dipelajari di Bahasa Inggris itu kebudayaan orang-orang barat yang gak sesuai sama ajaran Islam”
Sepertinya dia sengaja memancing emosiku. Aku menahan emosi negatifku yang mulai meluap-luap. Aku mengunci pembicaraannya dengan kalimat yang tidak mungkin bisa dibantahnya lagi “ya,terserah kamulah mau ngomong apapun. Yang jelas aku memilih jurusan bahasa Inggris supaya aku bisa berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris. Musuh Islam yang paling besar adalah orang-orang yang pintar berbahasa Inggris. Bagaimana kita bisa berdakwah kepada mereka kalau kita tidak memahami bahasa mereka. Mudah-mudahan suatu saat aku bisa ke Amerika.”
Temanku itu hanya diam dan pergi dengan ekspresi sangat kesal karena tidak berhasil memojokkanku hari itu.
Aku bertekad di dalam hati akan kuliah dengan sungguh-sungguh natinya dan ingin membuktikan kepadanya kalau aku bisa berhasil dalam jurusan bahasa inggris walaupun aku memiliki pengetahuan dasar yang sangat minim di bidang itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar