Empat purnama
masih tersisa untuk diwarnai dengan semaraknya warna pelangi yang indah, 104 hari masih menunggu untuk diisi
dengan merdunya nyanyian perjuangan di sebuah pulau kecil yang membatasi Negara
indonesia dengan Malaysia. 104 malam akan terhabiskan dengan deraian airmata
kesyukuran, kebahagiaan dan kesedihan yang mungkin akan berlalu lalang dalam
kehidupanku.
Delapan purnama
telah kunikmati dengan berbagai aroma. Setiap shubuh yang datang habis kukecup
dengan penuh kesyukuran. Bertahap-tahap pertualangan mengiringi denyut nadiku
di pulau ini. Semua detik yang berlalu membisikkan beribu cerita ke dalam alam
bawah sadarku. Aku menuliskan secuil pertualangan purnama perdanaku di
Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Utara.
“kalian disana
akan tinggal di pulau yang berbeda satu dan yang lainnya dengan jarak tempuh
yang sangat jauh, 3 hingga 8 jam perjalanan. Ongkos yang sangat mahal akan
kalian habiskan untuk dapat berkumpul berenam” aku teringat cuplikan
kalimat-kalimat yang disampaikan oleh manajer sekolah guru indonesia saat
mengikuti sebuah pembekalan sembilan bulan yang
lalu.
“Untuk rapat
koordinasi tim, kalian dapat berkumpul di Kabupaten Nunukan, sebuah pulau yang
terletak di pertengahan diantara semua pulau yang akan kalian tempati. Kalian
bisa menumpang menginap di rumah masyarakat atau kenalan-kenalan yang akan
kalian cari sendiri di kota tersebut. Pokoknya kalian harus berpandai-pandai
mencari kenalan baru karena kalian akan membutuhkan waktu yang lebih dari satu
hari untuk rapat koordinasi karena sebagian besar waktu kalian akan habis di
perjalanan” Kalimat arahan ini juga disampaikan Pembimbing Akademikku dengan
senyuman penuh arti. Aku membaca banyak pertanda dalam senyuman tersebut.
Pembekalan dan
arahan tersebut kuterima sebagai modal utama untuk memulai sebuah pertualangan
besar di daerah pelosok bagian utara Negara Indonesia. Hampir setiap malam aku bayangkan
berbagai hal yang mungkin akan mewarnai pertualanganku nantinya.
Fikiranku
semakin sibuk berkata-kata sendiri. “Mencari keluarga angkat yang mau
menampungku untuk bisa rapat koordinasi dengan teman-teman di kota?? hmm,
kayaknya gak akan susah bagiku tuh” Fikiran sombong muncul di otakku. Aku
berfikir kalau kita bisa membawakan diri dengan baik di masyarakat, pasti akan
banyak orang yang mau berbagi kebaikan dengan kita. Itu sudah hukum alam yang
kulalui berbelas-belas tahun hingga umurku yang sekarang sudah 24 tahun.
Apalagi aku akan mengabdi sebagai seorang relawan guru di daerah mereka. Aku
fikir hal itu akan membuat masyarakat-masyarakat pelosok itu akan menghargai
aku dan teman-temanku.
The
time to showing is coming. Aku dan teman-teman telah berada di tempat yang
ditentukan untuk satu tahun perjuangan yang akan diabadikan sendiri oleh
sang waktu. Kedatanganku dan teman-teman
disambut hangat oleh dinas pendidikan kabupaten setempat dengan sebuah upacara
penyambutan sederhana. Kami masih bisa menikmati tidur di hotel yang nyaman
untuk dua malam.
Hari ketiga adalah hari perpisahan
yang mengharukan dengan teman-teman tim. Aku mulai berdikari dalam langkah
perjuangan untuk mempertahankan kehidupanku di tengah pulau yang sunyi dan sepi
ini. Aku masih gamang dengan suasana yang aku rasakan sangat krik,,krik.
Aku memulai kehidupanku yang baru di
sebuah rumah dinas sekolah. Dikelilingi lapangan luas dan kebun sawit. Jauh
dari pemukiman penduduk. Langka akan transportasi umum dan aku tidak bisa
mengendarai sepeda motor. Jalanan menuju kota sangat berliku, berbukit dan
parahnya semua jalanan tersebut juga berlobang dan dipenuhi batu-batu cadas.
Cuaca yang tidak menentu membuatku
was-was. Panas kerontang di siang hari, hujan badai di tengah malam yang selalu
membanjiri lantai kamar, petir besar yang tak pernah bosan mencari mangsa
selalui menyisipkan degup kencang di jantungku dan aliran sungai kecil selalu
menggenangi pelupuk mataku. Hanya doa perlindungan kepada sang maha pelindung yang
selalu terlempar dari bibirku.
Tak terasa purnama pertama berhasil
kulalui hingga rapat tim perdana. Saat itu awal januari 2014. Aku berhasil
mendapatkan seorang teman yang bekerja sebagai tata usaha di smp yang satu atap
dengan SD tempatku mengajar. Orang tuanya memiliki rumah kecil di kota tempat
koordinasiku dengan teman-teman tim. Aku dan teman-teman cuma betahan semalam
untuk menginap disana karena rumahnya hanya satu petak kecil tanpa kamar. Kami
merasa segan karena n membuat rumah itu semakin sempit. Aku melihat semua
bagian lantai rumahnya diisi untuk tidur oleh anggota keluarganya hingga tidak
tersisa sedikit bagian pun untuk sekedar sholat atau duduk. Aku dan teman-teman
tidur di bagian pojok rumah. Disambung oleh temanku pemilik rumah beserta ibu
dan adiknya. Sepupu perempuan temanku itu sampai tidur di pintu kamar mandi dan
paman serta sepupu laki-lakinya tidur di pintu masuk rumah.
Malam sebelumnya
aku dan teman-teman juga telah menginap di rumah saudara ipar sepupu teman
timku yang berasal dari daerah lombok. Kami juga hanya bertahan satu malam
disana karena orangnya terlalu baik dan kami merasa tidak enak hati untuk
merepotkan mereka. Anak-anak mereka harus tidur di ruangan tengah karena
kamarnya mereka pinjamkan buat kami.
Malam ketiganya
kami pindah lagi tidur ke rumah teman dari teman guru sesama mengajar anggota
timku yang berasal dari Makasar. Ternyata si pemilik rumah adalah seorang
kontraktor yang memiliki banyak rumah. Kami diajak tidur dirumahnya yang besar
dan bertingkat, Kami dimasakin makanan yang mewah dan enak. Kami menikmati
malam tahun baru dengan pesta mangga karena si pemilik rumah memiliki pohon
mangga yang sedang berbuah lebat.
Ada udang di
balik bakwan. Itulah pribahasa yang cocok untuk kondisiku dan teman-teman saat
itu. Tengah malam sebelum tidur, abang kontraktor pemilik rumah mengajak kami
diskusi serius. Ternyata beliau sedang mencari wanita yang bisa dijadikan istri
ketiganya. 3 orang anggota tim yang cowok langsung tercekat tidak bisa
berkata-kata. Aku dan 2 anggota tim perempuan yang lain tercekat dan langsung
deg-degan.
Abang tersebut
mewawancarai kami yang perempuan satu per satu. Mulai dari background keluarga
dan pacar atau calon suami. Kami semua mengaku dan berpura-pura telah mempunyai
calon suami. Di dalam hati kami merasa sangat takut sekali kalau-kalau kami
terjebak olehnya. Kami berdoa dan berusaha meyakinkannya kalau kami bukanlah
calon istri yang tepat baginya. Akhirnya malam itupun berhasil kami lalui
dengan baik tanpa ada hal jelek yang terjadi.
Keesokan
paginya kami mohon izin untuk melanjutkan beberapa agenda yang harus
dituntaskan. Abng tersebut memaksa untuk mengantarkan kami sampai ke alun-alun.
Dia memaksa kami untuk tetap menginap dirumahnya selama kami berada di kota
tersebut. Kami semua sibuk mencari alasan agar bisa terlepas darinya.
Kami memutuskan
untuk mencari tempat menginap yang lain. Kebetulan ada guru sesama mengajar
temanku yang berasal dari Surabaya juga sedang berliburan di kota tersebut.
Beliau memiliki rumah yang besar di pojok kota. Kami bersilaturrahmi kesana dan
beliau menawarkan kami untuk menginap disana sampai urusan kami selesai.
Malam pertama
kami menginap disana berlalu dengan baik. Ada sebuah kamar yang tidak bisa kami
masuki. Disana terdapat sebuah ranjang yang yang berisi kasur, selimut dan
bantal serta seperangkat pakaian bersih yang selalu diganti setiap hari oleh si
pemilik rumah. Kata ibu pemilik rumah, di ranjang tersebut terdapat sepasang
cucu kembarnya yang bernama Alif dan Alifah. Padahal kedua cucunya tersebut
telah meninggal dunia bertahun-tahun yang lalu. Semua anggota keluarganya dapat
melihatnya setiap hari berada dirumah itu.
Mereka juga
mengatakan kedua cucunya itu selalu tersenyum-senyum melihat kedatangan kami
disana. Kami bergidik takut setiap kali berjalan didekat kamar tersebut. Untuk
menentramkan hati, kami selalu sholat berjamaah dan tadarus bersama seperti
kebiasaan kami setiap kali berkumpul satu tim.
Keesokan
siangnya kami habiskan dengan berkeliling kota hingga sore hari. Habis magrib
kami kembali ke rumah ibu tersebut. Sesuatu yang tidak kami perkirakan
sebelumnyapun terjadi. Kami ternganga dan tidak bisa berucap banyak. Saat kami
datang, kami disambut di pintu rumah oleh ibu pemilik rumah sambil berdiri.
“Kalian tidak
bisa lagi tidur di rumah saya malam ini, kalian harus pindah ke sebelah.
Sebenarnya di sebelah ini juga rumah saya, tapi sudah saya sewakan sama orang.
Tapi kalian bisa menumpang tidur disana malam ini. Barang-barang kalian juga
harus diangkat kesana. Besok saya akan balik ke sebuku.”
Kami shock, aku
meminta maaf kalau-kalau aku dan teman-teman ada berprilaku salah terhadap
beliau. Aku heran, padahal beliau berkata bahwa beliau akan kembali ke sebuku
seminggu lagi. Aku dan teman-teman juga melihat beliau membakar kemenyan di
pintu rumahnya. Aku benar-benar bergidik horor.
Temanku yang
dari makasar berbisik kepadaku. Sudah, ikuti saja kata-katanya, nanti aku akan
jelaskan semuanya kepada kalian. Kita berlindung saja banyak-banyak sama Allah.
Lututku mulai gemetar dengan hal-hal aneh tersebut. Kami mulai mengangkat
barang-barang kami ke rumah yang dimaksud oleh ibu tersebut.
Temankupun
mulai menjelaskan kepadaku tentang hal yang terjadi.
“Sebenarnya ibu
itu tidak marah kepada kita. Tetapi dua makhluk yang ada diranjang tersebut
merasa tidak nyaman dengan keberadaan kita karena kita sholat dan membaca
Al-Qur’an disana. Dua makhluk itu berkata ke ibu tersebut untuk mengusir kita.
Terus, kemenyan yang dibakar ibu tersebut dipintu rumahnya adalah sebagai
bentuk permohonan maafnya kepada dua makhluk tersebut agar tidak marah. Itu
adalah kebiasaan yang masih banyak berkembang di dalam adat orang bugis. Kalian
gak usah terlalu heran. Kalau aku sudah terbiasa dengan hal ini. Tapi,
alhamdulillah, walaupun aku juga orang bugis, tapi keluargaku tidak ada yang
begitu kok”
Hal ini benar-benar
pengalaman yang akan selalu terpatri di otakku. Banyak pelajaran yang aku dapatkan
dari pertualangan bulan tersebut. Ternyata setiap hal yang kita fikirkan dengan
perasaan sombong akan berakibat fatal bagi diri sendiri. Tidak semua orang baik
yang kita temui ikhlas menawarkan kebaikan buat kita. Berdiri diatas kaki
sendiri adalah sebuah kekuatan yang akan menguatkan kita walaupun badai topan
kehidupan menghantam dengan penuh kedahsyatan.Pulau Sebatik, 9 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar