Pengikut

Jumat, 24 Juli 2015

Warna Warni Purnama

Empat purnama masih tersisa untuk diwarnai dengan semaraknya warna pelangi yang  indah, 104 hari masih menunggu untuk diisi dengan merdunya nyanyian perjuangan di sebuah pulau kecil yang membatasi Negara indonesia dengan Malaysia. 104 malam akan terhabiskan dengan deraian airmata kesyukuran, kebahagiaan dan kesedihan yang mungkin akan berlalu lalang dalam kehidupanku.
Delapan purnama telah kunikmati dengan berbagai aroma. Setiap shubuh yang datang habis kukecup dengan penuh kesyukuran. Bertahap-tahap pertualangan mengiringi denyut nadiku di pulau ini. Semua detik yang berlalu membisikkan beribu cerita ke dalam alam bawah sadarku. Aku menuliskan secuil pertualangan purnama perdanaku di Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Utara.
“kalian disana akan tinggal di pulau yang berbeda satu dan yang lainnya dengan jarak tempuh yang sangat jauh, 3 hingga 8 jam perjalanan. Ongkos yang sangat mahal akan kalian habiskan untuk dapat berkumpul berenam” aku teringat cuplikan kalimat-kalimat yang disampaikan oleh manajer sekolah guru indonesia saat mengikuti sebuah pembekalan sembilan bulan yang  lalu.
“Untuk rapat koordinasi tim, kalian dapat berkumpul di Kabupaten Nunukan, sebuah pulau yang terletak di pertengahan diantara semua pulau yang akan kalian tempati. Kalian bisa menumpang menginap di rumah masyarakat atau kenalan-kenalan yang akan kalian cari sendiri di kota tersebut. Pokoknya kalian harus berpandai-pandai mencari kenalan baru karena kalian akan membutuhkan waktu yang lebih dari satu hari untuk rapat koordinasi karena sebagian besar waktu kalian akan habis di perjalanan” Kalimat arahan ini juga disampaikan Pembimbing Akademikku dengan senyuman penuh arti. Aku membaca banyak pertanda dalam senyuman tersebut.
Pembekalan dan arahan tersebut kuterima sebagai modal utama untuk memulai sebuah pertualangan besar di daerah pelosok bagian utara Negara Indonesia. Hampir setiap malam aku bayangkan berbagai hal yang mungkin akan mewarnai pertualanganku nantinya.
Fikiranku semakin sibuk berkata-kata sendiri. “Mencari keluarga angkat yang mau menampungku untuk bisa rapat koordinasi dengan teman-teman di kota?? hmm, kayaknya gak akan susah bagiku tuh” Fikiran sombong muncul di otakku. Aku berfikir kalau kita bisa membawakan diri dengan baik di masyarakat, pasti akan banyak orang yang mau berbagi kebaikan dengan kita. Itu sudah hukum alam yang kulalui berbelas-belas tahun hingga umurku yang sekarang sudah 24 tahun. Apalagi aku akan mengabdi sebagai seorang relawan guru di daerah mereka. Aku fikir hal itu akan membuat masyarakat-masyarakat pelosok itu akan menghargai aku dan teman-temanku.
          The time to showing is coming. Aku dan teman-teman telah berada di tempat yang ditentukan untuk satu tahun perjuangan yang akan diabadikan sendiri oleh sang  waktu. Kedatanganku dan teman-teman disambut hangat oleh dinas pendidikan kabupaten setempat dengan sebuah upacara penyambutan sederhana. Kami masih bisa menikmati tidur di hotel yang nyaman untuk dua malam.
          Hari ketiga adalah hari perpisahan yang mengharukan dengan teman-teman tim. Aku mulai berdikari dalam langkah perjuangan untuk mempertahankan kehidupanku di tengah pulau yang sunyi dan sepi ini. Aku masih gamang dengan suasana yang aku rasakan sangat krik,,krik.
          Aku memulai kehidupanku yang baru di sebuah rumah dinas sekolah. Dikelilingi lapangan luas dan kebun sawit. Jauh dari pemukiman penduduk. Langka akan transportasi umum dan aku tidak bisa mengendarai sepeda motor. Jalanan menuju kota sangat berliku, berbukit dan parahnya semua jalanan tersebut juga berlobang dan dipenuhi batu-batu cadas.
          Cuaca yang tidak menentu membuatku was-was. Panas kerontang di siang hari, hujan badai di tengah malam yang selalu membanjiri lantai kamar, petir besar yang tak pernah bosan mencari mangsa selalui menyisipkan degup kencang di jantungku dan aliran sungai kecil selalu menggenangi pelupuk mataku. Hanya doa perlindungan kepada sang maha pelindung yang selalu terlempar dari bibirku.
          Tak terasa purnama pertama berhasil kulalui hingga rapat tim perdana. Saat itu awal januari 2014. Aku berhasil mendapatkan seorang teman yang bekerja sebagai tata usaha di smp yang satu atap dengan SD tempatku mengajar. Orang tuanya memiliki rumah kecil di kota tempat koordinasiku dengan teman-teman tim. Aku dan teman-teman cuma betahan semalam untuk menginap disana karena rumahnya hanya satu petak kecil tanpa kamar. Kami merasa segan karena n membuat rumah itu semakin sempit. Aku melihat semua bagian lantai rumahnya diisi untuk tidur oleh anggota keluarganya hingga tidak tersisa sedikit bagian pun untuk sekedar sholat atau duduk. Aku dan teman-teman tidur di bagian pojok rumah. Disambung oleh temanku pemilik rumah beserta ibu dan adiknya. Sepupu perempuan temanku itu sampai tidur di pintu kamar mandi dan paman serta sepupu laki-lakinya tidur di pintu masuk rumah.
Malam sebelumnya aku dan teman-teman juga telah menginap di rumah saudara ipar sepupu teman timku yang berasal dari daerah lombok. Kami juga hanya bertahan satu malam disana karena orangnya terlalu baik dan kami merasa tidak enak hati untuk merepotkan mereka. Anak-anak mereka harus tidur di ruangan tengah karena kamarnya mereka pinjamkan buat kami.
Malam ketiganya kami pindah lagi tidur ke rumah teman dari teman guru sesama mengajar anggota timku yang berasal dari Makasar. Ternyata si pemilik rumah adalah seorang kontraktor yang memiliki banyak rumah. Kami diajak tidur dirumahnya yang besar dan bertingkat, Kami dimasakin makanan yang mewah dan enak. Kami menikmati malam tahun baru dengan pesta mangga karena si pemilik rumah memiliki pohon mangga yang sedang berbuah lebat. 
Ada udang di balik bakwan. Itulah pribahasa yang cocok untuk kondisiku dan teman-teman saat itu. Tengah malam sebelum tidur, abang kontraktor pemilik rumah mengajak kami diskusi serius. Ternyata beliau sedang mencari wanita yang bisa dijadikan istri ketiganya. 3 orang anggota tim yang cowok langsung tercekat tidak bisa berkata-kata. Aku dan 2 anggota tim perempuan yang lain tercekat dan langsung deg-degan.
Abang tersebut mewawancarai kami yang perempuan satu per satu. Mulai dari background keluarga dan pacar atau calon suami. Kami semua mengaku dan berpura-pura telah mempunyai calon suami. Di dalam hati kami merasa sangat takut sekali kalau-kalau kami terjebak olehnya. Kami berdoa dan berusaha meyakinkannya kalau kami bukanlah calon istri yang tepat baginya. Akhirnya malam itupun berhasil kami lalui dengan baik tanpa ada hal jelek yang terjadi.
Keesokan paginya kami mohon izin untuk melanjutkan beberapa agenda yang harus dituntaskan. Abng tersebut memaksa untuk mengantarkan kami sampai ke alun-alun. Dia memaksa kami untuk tetap menginap dirumahnya selama kami berada di kota tersebut. Kami semua sibuk mencari alasan agar bisa terlepas darinya.
Kami memutuskan untuk mencari tempat menginap yang lain. Kebetulan ada guru sesama mengajar temanku yang berasal dari Surabaya juga sedang berliburan di kota tersebut. Beliau memiliki rumah yang besar di pojok kota. Kami bersilaturrahmi kesana dan beliau menawarkan kami untuk menginap disana sampai urusan kami selesai.
Malam pertama kami menginap disana berlalu dengan baik. Ada sebuah kamar yang tidak bisa kami masuki. Disana terdapat sebuah ranjang yang yang berisi kasur, selimut dan bantal serta seperangkat pakaian bersih yang selalu diganti setiap hari oleh si pemilik rumah. Kata ibu pemilik rumah, di ranjang tersebut terdapat sepasang cucu kembarnya yang bernama Alif dan Alifah. Padahal kedua cucunya tersebut telah meninggal dunia bertahun-tahun yang lalu. Semua anggota keluarganya dapat melihatnya setiap hari berada dirumah itu.
Mereka juga mengatakan kedua cucunya itu selalu tersenyum-senyum melihat kedatangan kami disana. Kami bergidik takut setiap kali berjalan didekat kamar tersebut. Untuk menentramkan hati, kami selalu sholat berjamaah dan tadarus bersama seperti kebiasaan kami setiap kali berkumpul satu tim.
Keesokan siangnya kami habiskan dengan berkeliling kota hingga sore hari. Habis magrib kami kembali ke rumah ibu tersebut. Sesuatu yang tidak kami perkirakan sebelumnyapun terjadi. Kami ternganga dan tidak bisa berucap banyak. Saat kami datang, kami disambut di pintu rumah oleh ibu pemilik rumah sambil berdiri.
“Kalian tidak bisa lagi tidur di rumah saya malam ini, kalian harus pindah ke sebelah. Sebenarnya di sebelah ini juga rumah saya, tapi sudah saya sewakan sama orang. Tapi kalian bisa menumpang tidur disana malam ini. Barang-barang kalian juga harus diangkat kesana. Besok saya akan balik ke sebuku.”
Kami shock, aku meminta maaf kalau-kalau aku dan teman-teman ada berprilaku salah terhadap beliau. Aku heran, padahal beliau berkata bahwa beliau akan kembali ke sebuku seminggu lagi. Aku dan teman-teman juga melihat beliau membakar kemenyan di pintu rumahnya. Aku benar-benar bergidik horor.
Temanku yang dari makasar berbisik kepadaku. Sudah, ikuti saja kata-katanya, nanti aku akan jelaskan semuanya kepada kalian. Kita berlindung saja banyak-banyak sama Allah. Lututku mulai gemetar dengan hal-hal aneh tersebut. Kami mulai mengangkat barang-barang kami ke rumah yang dimaksud oleh ibu tersebut.
Temankupun mulai menjelaskan kepadaku tentang hal yang terjadi.
“Sebenarnya ibu itu tidak marah kepada kita. Tetapi dua makhluk yang ada diranjang tersebut merasa tidak nyaman dengan keberadaan kita karena kita sholat dan membaca Al-Qur’an disana. Dua makhluk itu berkata ke ibu tersebut untuk mengusir kita. Terus, kemenyan yang dibakar ibu tersebut dipintu rumahnya adalah sebagai bentuk permohonan maafnya kepada dua makhluk tersebut agar tidak marah. Itu adalah kebiasaan yang masih banyak berkembang di dalam adat orang bugis. Kalian gak usah terlalu heran. Kalau aku sudah terbiasa dengan hal ini. Tapi, alhamdulillah, walaupun aku juga orang bugis, tapi keluargaku tidak ada yang begitu kok”
Hal ini benar-benar pengalaman yang akan selalu terpatri di otakku. Banyak pelajaran yang aku dapatkan dari pertualangan bulan tersebut. Ternyata setiap hal yang kita fikirkan dengan perasaan sombong akan berakibat fatal bagi diri sendiri. Tidak semua orang baik yang kita temui ikhlas menawarkan kebaikan buat kita. Berdiri diatas kaki sendiri adalah sebuah kekuatan yang akan menguatkan kita walaupun badai topan kehidupan menghantam dengan penuh kedahsyatan.

                                                                           Pulau Sebatik, 9 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar