Pengikut

Rabu, 28 Oktober 2015

*My First Snow*



Menginap di rumah Julie, housemothernya Betzi dan Nurona menyisakan sebuah pengalaman berkesan buatku. Julie mengajak kami untuk bermain ke flagstaff dan Sedona. Dari percakapanku ditelvon bersama Betzy, aku mendapat kabar bahwa Julie akan mengajak kami bermain ke salju. Aku sangat bahagia mendengar berita itu. Padahal kami juga sudah ada rencana untuk berjalan-jalan ke grand canyon juga bersama Amy Jordan namun harus ditunda karena ada berita bahwa grand canyon sedang dilanda badai salju.
Keesokan harinya, setelah meminta izin kepada Carmen, aku menuju stasiun kereta api menuju arah tempe market place. Julie berjanji akan menjemputku disana.
Tidak sampai sejam aku menunggu di stasiun tersebut. Akhirnya aku melihat Betzy dan Nurona melambaikan tangan mereka dari kaca sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam. Aku terpana melihat kemewahan mobil Julie.
Mereka mempersilahkan aku duduk di depan, disamping Julie yang menyetir di sebelah kiriku. Nurona dan Betzy duduk di bagian belakang. Di sepanjang jalan, kami banyak bercerita dan Julie memutar lagu-lagu bahasa inggris yang sedang nge-hitz. Sayangnya aku tidak bisa menyanyikan lagu-lagu itu seperti Nurona dan Betzy. Aku hanya bisa mengiringi semua lagu itu dengan hentakan-hentakan kecil kakiku di lantai mobil Julie.
Mobil Julie perlahan memasuki daerah pedalaman Arizona. Rumah-rumah penduduk sudah tidak kelihatan lagi. Yang ada hanya bukit-bukit berwarna merah dan padang pasir luas yang ditumbuhi oleh beraneka jenis kaktus raksasa, Ya, Arizona sangat istimewa dengan kaktus raksasanya.
Julie menambah kecepatan mobilnya karena jalanan sudah mulai menanjak tinggi. Di kanan kiri jalan kulihat rambu-rambu lalu lintas yang menunjukkan keterangan “kecepatan maksimal 85 km/jam”. Tidak lama kemudian jalanan mulai menurun dan kulihat rambu-rambu di kiri kanan jalan bertuliskan “kecepatan maksimal 80 km/jam”. SaatJulie sedang berusaha mengurangi kecepatan mobilnya yang tadi 85 km/jam menjadi 80 km per jam tiba-tiba terdengar suara sirine mobil polisi lalu lintas di belakang kami. Aku cemas dan takut dengan apa yang akan terjadi.
Aku trauma dengan polisi amerika ini sejak teman-temanku kena hardik oleh polisi amerika di kedubes saat pembuatan visa dan juga aku pernah dikejar oleh polisi lalu lintas amerika saat berjalan kaki di rel kereta api “light rail” kampus ASU (Arizona State University).
Saat itu aku dan Ana, salah seorang temanku dari daerah ponorogo, berjalan kaki di rel kereta sambil berfoto-foto. Tiba-tiba saja duaorang polisi lalu lintas mengejar kami dari arah belakang hingga kami terbirit-birit penuh ketakutan. Namun, lari mereka terlalu cepat dan mereka berhasil menangkap kami. Saat itu kami hanya bisa meminta maaf dan mengakui kesalahan kami karena belum paham dengan aturan yang melarang berjalan kaki di atas lintsan rel kereta listrik tersebut. Raut lugu dan polos kami mampu meluluhkan hati mereka dan melepaskan kami setelah menasehati kami dengan berbagai macam ancaman kalau kami masih mengulangi hal itu lagi.
Julie mencari tempat berhenti di sebelah kanan. Polisi itu mengetok-ngetok jendela kaca mobil Julie. Mereka terlihat bercakap-cakap dan polisi itu mencatat di buku kecilnya. Aku tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan.
Aku bertanya dengan polosnya kepada Julie “What happen”
“Tidak seharusnya aku mendapat tiket, tapi udah terlanjur melanggar peraturan lalu lintas. Tinggal menunggu tiket itu datang ke rumah dan aku harus membayar banyak uang untuk itu” Julie menjelaskan kepadaku dalam bahasa inggris.
“tiket? Tiket apa? peraturan apa?” aku heran dan kembali bertanya dengan polosnya kepada Julie. Menurutku Julie tidak melanggar peraturan apa-apa dan mobil yang lewat di jalan itu hanya mobil kami. Aku semakin bingung.
“kamu lihat tadi rambu-rambu di pinggir jalan yang mengingatkan kalau kecepatan mobil maksimal 80 km/jam. Namun aku sedang berusaha menurunkannya dari kecepatan 85 menjadi 80, tiba-tiba dia menyetrap mobilku saat aku baru sampai di kecepatan 83 km”.
“kenapa mereka bisa tahu? Kan tadinya gak ada polisi di kiri kanan jalan. Kecepatan speedometer mobil kita juga di dalam. Kenapa mereka bisa tahu?” aku semakin bingung.
“mereka punya peralatan yang canggih untuk mengetahui semua itu dan sangat sigap mengambil skap dalam hal ini” Julie kembali menjelaskan kepadaku.
Aku terdiam dan bergumam “wah, betapa disiplinnya Negara ini. Di Indonesia saja semua orag bisa mengendarai mobil dan motor dengan kecepatan apapaun dilokasi manapun kecuali di jalan tol”. Selanjutnya kami lebih banyak diam.
Mobil mulai memasuki daerah yang bersalju. Kulihat dikiri kanan jalan rumah-rumah penduduk diselimuti salju. Mobil-mobil mereka juga diselimuti salju. Terus memasuki daerah yang kiri kanan jalannya diptumbuhi banyak pohon oak.. Salju menumpuk di semua bagian daerah ini. Aku benar-benar takjub dan tidak bisa berkata-kata. Di dalam hati, aku hanya berucap “subhanallah, indahnya”
Ingin rasanya aku meminta Julie untuk berhenti dan mengizinkanku berlarian di sepanjang lokasi itu. Berlarian dari satu pohon ke pohon yang lain. Bertelanjang kaki di atas salju yang kelihatan sangat menggoda itu. Aku teringat film Narnia  yang ada scene di saljunya. Aku memejamkan mata dan membayangkan diriku larut di dalam salju itu.
Aku melihat kearah Julie. Dia terlihat berkonsentrasi menyetir mobil. Akhirnya kami sampai juga di arena bermain salju flagstaff. Julie memarkir mobilnya di tempat yang aman. Dia mengajak kami keluar. Udara diluar mobil begitu sejuk. Aku memasang sarung tangan dan mengeratkan tali sepatu boatku. Syal kulilitkan di leher untuk mengurangi hawa dingin yang menusuk kulit.
Tidak lama kemudian, perang salju pun dimulai. Aku berlarian kesana kemari menikmati salju pertamaku. Nurona tiduran di salju dan meminta betzy memotretnya banyak-banyak. Julie mulai melempari kami dengan bola-bola salju kecil dan aku membalasi siapapun yang melempariku dengan lemparan bola salju yang besar-besar.
Aku mencari sudut-sudut yang menarik untuk berpose.Setelah puas bermain di flagstaff, juli mengajak kami melanjutkan perjalanan untuk bertemu dengan kakak laki-lakinya. Ternyata kakak juli tersebut telah menunggu kami di rumah sebuah persimpangan jalan. Kemudian mereka mentraktir kami makan di sebuah restoran meksiko.
“What do you want to eat?” juli bertanya kepada kami
“chicken” kami menjawab serentak
“what? Its not a good time for you to eat chicken dear. Please order the food that you never eat. I suggest  you to order tortilla and meksico food”
Akhirnya kami bertiga manut aja.
Sambil menunggu, Julie memperkenalkan kami kepada keluarga sodara laki-lakinya itu. Ternyata saudara laki-laki juli tersebut mempunyai dua orang anak. Anak pertamanya laki-laki, saat itu dia juga datang membawa pasangannya. Kemudian anaknya yang kedua adalah perempuan.
Sedangkan Julie sendiri memilih untuk tidak bersuami karena menurutnya banyak laki-laki di Amerika yang brengsek dan tidak bertanggung jawab.
Setelah makan, kami berpose bersama di halaman restoran tersebut.
Selanjutnya kami berpisah dengan keluarga suami Julie tersebut. Julie membawa kami melanjutkan perjalanan ke Sedona. Katanya daerah Sedona itu terkenal dengan coklatnya dan batu-batuan bukit berwarna merah.
Ternyata benar yang dikatakan oleh Julie. Di sepanjang jalan kulihat banyak bukit-bukit berbatu merah yang diliputi oleh salju, Seperti coklat yang dilapisi susu, Sungguh pemandangan yang memukau hatiku.
Di Sedona inilah aku sempat berpose di bawah pohon maple yang daunnya sedang berguguran. Teman-temanku di Indonesia mengatakan kalau pohon ini adalah pohon film mohabbaten karena daun maple sangat eksis di film india “mohabbaten”.
Kami memiliki waktu yang terbatas sekali untuk bersantai-santai di Sedona ini. Julie mengajak kami buru-buru untuk pulang karena takut pulang terlalu larut. Di perjalanan pulang, Julie membelikan kami jus apple segar yang langsung diperas dari apple segar di pinggir jalan. Rasanya benar-benar aneh di lidahku dan membuatku serasa ingin muntah. Tapi, untuk menghargai pemberian Julie tersebut, aku membungkus jus apple tersebut dan membawanya pulang.
Julie mengantarku sampai ke halaman rumah. Dia gak mau kuajak mampir. Aku sangat berterima kasih kepadanya karena telah membawaku ke tempat yang benar-benar berkesan banget.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar