Pengikut

Rabu, 28 Oktober 2015

*My Superstrick’s Housemather*



Aku mencari-cari orang yang akan menjadi keluarga angkat ku. Di tengah kerumunan kulihat seorang wanita meksiko dan seorang gadis jepang yang cantik memegang kertas putih ukuran 100x100 cm bertuliskan namaku. Tanpa berfikir panjang kuhampiri mereka dan memperkenalkan diri. Mereka menyalamiku dan dengan refleks nya aku menciumi punggung tangan wanita meksiko yang akan menjadi ibu angkatku itu.
Namun dia terlihat terkejut dan agak tidak senang dengan sikapku yang demikian. Aku meminta maaf kepadanya dan menjelaskan kalau di Indonesia menciumi tangan orang yang lebih tua merupakan salah satu norma kesopanan untuk menunjukkan rasa hormat.
Hufft, aku benar-benar deg-deg an karena menunjukkan kesan pertama yang membuatnya merasa aneh terhadapku. Nama wanita meksiko tersebut adalah Carmen Romero. Umurnya sudah 60 tahun namun masih terlihat seperti wanita umur 40 an. Selanjutnya gadis jepang yang bersamanya adalah Natsumi Namba, Umurnya 20 tahun. Namun tubuhnya yang tinggi dan berbadan besar membuatnya seperti berumur 25 tahun.
Carmen udah gak sabaran pengen membawaku pulang kerumahnya secepat mungkin. Namun panitia yang ngurusin kami mengajak berfoto bersama. Dengan berat hati Carmen memilih berdiri di bagian belakang sehingga dia tidak tertangkap oleh  kamera. Sedangkan aku mengambil posisi paling depan karena aku menyadari kalau diri ku tidak terlalu tinggi untuk berdiri di bagian belakang.
Aku merasa sedih, sebab semua teman-temanku berfoto disamping house family nya masing-masing sedangkan aku tidak. Kutepis rasa itu karena mengingat pertualangan yang akan kulalui membuat ku merasa deg-deg an. Aku deg-deg an membayangkan hidup dengan orang lain yang beda agama, beda kewarganegaraan bahkan beda budaya denganku. Kesan pertama di bandara aja udah bikin mentalku kocar kacir.
Saat orang lain masih beramah tamah dengan yang lainnya, Carmen buru-buru mengajakku pulang. Aku manut saja dan menenteng koper ku yang berat banget. Mereka tidak membantuku sedikitpun membawanya. Aku menaikkan sendiri koperku ke atas mobilnya. Saat itu pinggangku serasa mau patah sebab koper yang berat itu hampir sama besarnya dengan badanku yang kecil. Tapi mereka tidak mau tahu dengan apa yang kurasakan.
Aku duduk di belakang Natsumi. Carmen menyetir mobilnya dengan perlahan. Aku baru sadar kalau posisi setir mobil di Amerika berada disebelah kiri. Di sepanjang jalan dia menceritakan semua yang dirasanya penting untuk kuketahui tentang Arizona. Namun aku tidak mengerti sedikitpun tentang apa yang disampaikannya kepadaku karena kepalaku masih puyeng dan tubuhku masih terasa letih setelah menempuh perjalanan yang panjang dari Jakarta ke Arizona.
Coba waktu itu aku membawa alat perekam, lumayan bisa jadi kenang-kenangan juga tuh. Namun yang bisa kulakukan waktu itu hanyalah merespon semua ceritanya dengan kata “o I see”, “oh yea”, “yes”, “no” and cengegesan sambil menikmati indahnya pemandangan sore hari kota phoenix yang penuh dengan tumbuhan kaktus raksasa, padang pasir dan lingkungan yang benar-benar bersih tanpa sampah secuilpun.
Sampai di rumah, aku menurunkan sendiri koperku dengan susah payah. Carmen menyuruhku mencuci tangan terlebih dahulu sebelum melakukan apapun dirumahnya. Kemudian dia memperkenalkan semua bagian rumahnya kepadaku, mulai dari “rest room” atau kamar mandi, kamarku, dan dapur.
Dia mulai menyebutkan semua peraturan yang harus kujalani selama 2 bulan dirumahnya mulai dari mencuci tangan setiap kali sampai dirumah, menjaga lantai, dinding, dan kaca kamar mandi untuk tetap kering. Harus hemat dalam menggunaan air dan listrik. Kalau mau mandi atau mencuci harus diluar  jam 5-9 sore dan 5-9 pagi. Kipas angin ruangan harus dihidupkan saat mandi, setelah mandi pintu kamar mandi harus dibiarkan terbuka. Yang lebih parahnya lagi handuk untuk madi harus diganti sekali sehari. Jadi dalam seminggu aku harus menghabiskan 7 handuk untuk dipakai.
Aku benar-benar surprise dan lututku gemetar sebab yang kurasakan waktu itu adalah lapar dan haus. Aku membayangkan betapa ribetnya semua peraturan rumahnya yang belum pernah kujalani sebelumnya. Salahku juga sih karena dalam application form homestay aku meminta housefamily yang tidak memiliki anjing dan kucing serta binatang peliharaan lainnya.
Untuk menentramkan hatiku, aku minta izin kepadanya untuk melakukan sholat magrib sebab waktu itu jam sudah menunjukkan jam 7 malam. Padahal sebenarnya waktu magrib disana itu sekitar jam 5 an. Aku baru menyadarinya sehari setelah itu karena mengecek di internet. Ia mengantarku ke kamar dan menerangkan lagi peraturan buat kamar tersebut, Mulai dari cara menghidupkan lampu, membuka dan menutup gorden, bed cover yang gak boleh kusut. Ampun deh aku waktu itu. Tapi kuiyakan aja semua yang disampaikannya itu.
Aku merasakan semua itu seperti mimpi. Sebab dirumahku aku hanya tidur di dalam kamar yang tidak berloteng, berlantaikan tanah dan kulapisi dengan karton serta tikar pandan. Sedangkan di sini aku tidur dalam ruangan kamar yang nyaman berloteng mewah, lantai yang beralaskan permadani sutra, dan kasur empuk yang besar dan putih bersih.
Biasanya aku  mandi di sungai bergabung dengan masyarakat kampungku. Sedangkan disini aku mandi dalam ruagan wangi yang nyaman, pakai shower, bath tub, kipas angin, lemari peralatan bathroom yang mewah serta kaca yang besar untuk berhias. Biasanya aku makan hanya dengan duduk bersila di atas lantai kasar yang dialasi tikar pandan. Sekarang aku makan di atas meja makan yang mewah pakai tatakan, menggunakan sendok, garpu dan pisau. Aku berfikir ternyata begitu rasanya jadi orang kaya. Aku langsung tersadar karena hal itu hanya akan kulalui selama 2 bulan.
Waktu mau berwuduk, aku tutup pintu rest room itu dengan perlahan tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun. Sebab menimbulkan bunyi ketika berjalan, membuka dan menutup pintu juga termasuk salah satu pantangannya. Aku masuk ke dalam bathtub dan menutupkan kerainya serapat mungkin karena aku takut membasahi lantai kamar mandi. Aku membersihkan badanku dan berwuduk. Aku sholat di atas karpet lantai kamarku yang nyaman. Aku mengira-ngira arah kiblat.
Setelah selesai melakukan salam diakhir sholatku. Kulihat Carmen berdiri dipintu kamarku dengan tercengang melihat apa yang aku lakukan. Dia bertanya kepadaku “what are you doing on the floor (apa yang kamu lakukan dilantai)”. Aku mengatakan “this is the way for me to praying (ini adalah caraku sholat)”. Dia terpana dan aku yakin masih banyak yang ingin ditanyakannya kepadaku tentang mukena yang kupakai dan gerakan sujudku menciumi sajadah dilantai. Ia meminta maaf dan menungguku di meja makan bersama Natsumi.
Selesai membereskan peralatan sholat, aku menyusul mereka ke meja makan. Aku melangkah ke ruang makan tanpa memakai alas kaki sebab kulihat lantainya bersih dan licin. Carmen menegurku dan menyuruhku untuk memakai sandal karena sandal atau sepatu hanya dibuka saat  mau tidur saja. Aku meminta maaf dan kembali ke kamarku untuk memakai sandalku. Kulihat Natsumi hanya tersenyum melihat polahku.
Diatas meja sudah tersedia semua jenis makanan dan minuman amerika mulai dari yang mentah, masak, bahkan sajian fast food. Aku bingung harus memilih jenis makanan yang pas buatku. Mereka memperkenalkan semua jenis makanan itu kepadaku, mulai dari nama dan rasanya. Aku tidak konsentrasi sedikitpun dan tidak paham dengan apa yang mereka sampaikan sehingga aku hanya bisa melongo dan mengangguk-angguk culun dihadapan mereka sambil berkata “o i see”, “yes”, “no”, “maybe”, etc.
Selesai menerangkan semuanya mereka menanyakan makanan yang ingin kumakan. Aku menjawab tidak tahu karena aku belum pernah mencicipi makanan yang telah mereka jelaskan tersebut  dan perutku juga belum mau beradaptasi dengan semua makanan tersebut. Dengan penuh keyakinan, mereka menawarkan salad kepadaku dan mengatakan kalau aku pasti menyukainya. Aku menjadi penasaran untuk mencicipinya karena perutku benar-benar sangat lapar. Namun, saat sendok udah didepan perutku, aroma salad yang tercium di hidungku membuat perutku mual. Aku minta maaf kepada mereka karena tidak bisa memakan salad tersebut.
Mereka merasa kasihan kepadaku karena tidak ada satupun makanan mereka yang pas dengan perutku. Lalu mereka menanyai makanan yang biasa aku makan di Indonesia. Aku menjelaskan makanan pokok empat sehat dan 5 sempurna yang menjadi santapan wajibku di Indonesia. Carmen memutuskan akan membawa aku dan Natsumi ke pasar untuk membeli kebutuhan makananku.
Tiba-tiba aku melihat sekotak mie di sudut lemari makanannya. Bentuknya seperti pop mie tapi dengan merek yang berbeda yaitu “maruchan”. “I like that noodle” kataku kepada Carmen. “noodle? There is no noodle here” Carmen menjawab bingung.
Aku berjalan mengambil maruchan tersebut dan menunjukkan kepadanya. Ia mengangguk-angguk dan berkata “so, you will eat this?”. Aku mengangguk dan berkata “in my country I often eat this noodle”. Ia berkata dengan agak keras kepadaku “it is not noodle, but called this soup”. Oh my god, ternyata bagi mereka mie instant itu adalah soup. Padahal kalau di Indonesia soup adalah air kaldu yang direbus pake daging atau bahan-bahan lainnya. Aku mengatakan kepadanya kalau aku mau memakan mie saja untuk menggajal perutku sebelum berangkat ke pasar.
Ia memasaknya selama tiga menit dan menyuruhku menyiapkan tatakan makanku, ternyata dirumahnya kalau makan harus menggunakan tatakan atau alas supaya meja makannya tidak kotor. Kemudian ia juga menyuruhku menyiapkan garpu dan sendok.
Kami menikmati makan malam itu dengan menu yang berbeda. Natsumi dan Carmen makan salad sedangkan aku hanya makan maruchan. Aku hanya menggunakan sendok dan tidak menggunakan garpu saat makan. Lagi-lagi Carmen protes terhadapku. Katanya kalau makan aku harus menggunakan garpu dan sendok secara bersamaan. Aku mengatakan kepadanya kalau di Indonesia aku hanya makan menggunakan tangan kananku tanpa sendok. Dia benar-benar terkejut dan terlihat bergidik mendengar ucapanku.
Saking lahapnya aku menikmati mie kuah tersebut membuatku tanpa sengaja mengeluarkan bunyi cepak-cepak dan slurrrp,,,lagi-lagi Carmen menegurku kalau aku tidak boleh makan mengeluarkan bunyi. Lagi-lagi kaki ku bergetar karena masih saja salah dimatanya. Katanya aku mirip dengan gadis hongkong yang juga pernah tinggal disana.
Setelah makan aku menyabuni piringku dengan cairan pembersih piring dan mencucinya dengan air bersih. Ketika aku mau mengeringkannya, Carmen menyuruhku untuk memasukkan piring yang menurutku sudah sangat bersih itu kedalam mesin pencuci piring. Awalnya aku tidak tahu, aku kira itu adalah lemari biasa tempat menyimpan peralatan dapurnya, he,,he,,he. Selanjutnya aku disuruhnya melap meja dan tatakan makan bagianku. Kulihat Natsumi dan dia sudah membersihkan bagiannya masing-masing.
Selanjutnya aku dan Natsumi berangkat ke pasar bersamanya. Saat itu sudah menunjukkan jam 8 malam. Dalam bayanganku pasar yang akan kami tuju adalah pasar tradisional yang ada di kampungku. Ternyata dugaanku salah, ia malah membawaku ke sebuah supermarket yang besar namanya “wallmart”. Disana tersedia semua kebutuhan hidup yang dibutuhkan manusia. Aku bertanya kepadanya “is there any traditional market here”. Dia terkejut dan berkata “no, you will not find that such market here”.
Aku terdiam dan mengikuti kemanapun dia berjalan. Kulihat dia memilih-milih jenis makanan yang dibutuhkan dengan terlebih dahulu melihat kandungan lemak dan sugar yang tertera di kaleng makanan tersebut. Katanya dia selalu hati-hati dalam memilih makanan karena dia tidak mau menjadi over weight alias gemuk gara-gara makanan. Dia juga mengambil sekardus maruchan dan mengatakan kepadaku kalau maruchan itu akan menjadi makanan pokokku.
Ampuun deh, masak selama dua bulan disana aku akan makan mie instan?? Bisa penyakitan donk aku sampai di Indonesia. Aku menjelaskan kepadanya kalau aku butuh nasi sebagai makanan pokok ku serta sayur-sayuran, daging sapi dan daging ayam sebagai tambahannya. Ia mengangguk-angguk dan mengambil sebungkus beras dan daging sapi. Ia menyuruhku memilih apa saja yang kuinginkan saat itu. Namun, saat itu aku masih terbawa kebiasaan Indonesiaku yang malu-malu tapi mau. Sehingga aku tidak mengambil jenis makanan apapun. Sampai di rumah aku benar-benar menyesal karenanya.
Sampainya di rumah aku membantunya menyusun makanan yang sudah dibeli untuk dimasukkan kedalam lemari makanannya. Ya ampunn, ternyata lemari makanannya banyak banget. Kalau kuhitung ada 8 buah. Semuanya penuh dengan aneka jenis makanan yang tidak kukenal.
Lagi-lagi dia juga bercerita kepadaku kalau di rumahnya pernah tinggal juga mahasiswa angkat seperti aku yang berasal dari berbagai negara seperti korea, hongkong, jepang, china, dan arab. Mereka semua memiliki banyak kebiasaan jelek di matanya sehingga tidak ada yang mampu bertahan lama tinggal dengannya. Paling lama hanya 3 minggu. Natsumi adalah mahasiswa pertama yang mampu bertahan lama karena ia telah tinggal selama dua bulan bersamanya.
Carmen memuji-muji Natsumi dihadapanku. Katanya Natsumi anak yang baik, rajin, bersih, sopan, mau memakan semua jenis makanan dan selalu mengerjakan setiap tugas sekolah dengan baik. Aku mengumpat dalam hati karena merasa dia itu sedang menyindirku, menantangku apakah aku sanggup bertahan atau tidak. Aku merespon ceritanya dengan senyum kecut dan berkomitment dalam hati kalau aku akan menjadi anak yang baik melebihi Natsumi selama tinggal di rumahnya itu.
Hari pertama, aku bangun kesiangan karena terlalu capek. Tambahan lagi kasurnya juga empuk. “reni, wake up. It’s almost eight o ‘clock”. Carmen mengetok-ngetok pintu kamarku. Walaupun udah jam 7.35 a.m, aku tetap sholat shubuh. Semalam, aku telah mencari waktu sholat Arizona di google dengan sisa-sisa baterei yang ada di notebookku. Hmm, tentang adaptorku, adaptor adalah sebuah alat yang kita gunakan untuk mencas baterei peralatan elektronik kita karena bentuk stop kontak di amerika berbeda dengan bentuk stop kontak yang ada di Indonesia. Aku masih belum menemukannya. Walaupun tadi malam Carmen dan Natsumi udah menemaniku ke Wallmart dan beberapa toko lain, kami tetap belum mendapatkannya.
Aku mandi kilat dan segera bersiap-siap. Perutku lapar banget. Hanya pisang yang bisa kusantap pagi ini. Karena aku belum biasa memakan makanan yang lainnya. Sebelum meninggalkan kamar, aku check and recheck lagi. Eh, kasur dan selimutku masih berantakan euy. Aku segera membereskanya serapi mungkin.
Hari pertama ini, Carmen dan Natsumi yang mengantarku ke kampus karena aku belum tahu lokasi kampusku secara detail. Walaupun tadi malam Carmen udah membawaku mengelilingi daerah “tempe” termasuk kampusku. Tapi aku tetap belum bisa mempelajari lokasi tersebut karena pemandangan dimalam hari dan di siang hari jelas jauh berbeda. Carmen menurunkanku di depan bookstore (toko buku) karena disana terlihat Dini berdiri menunggu teman-teman yang lain bersama housefathernya (bapak angkatnya). Selanjutnya Carmen dan Natsumi pulang kerumah dan mengatakan akan menjemputku lagi di tempat yang sama.
Setelah beberapa lama menunggu akhirnya teman-temanku yang 18 orang telah berkumpul. Kami dibawa ke sebuah ruangan pertemuan kampus untuk mengikuti welcoming lunch. Acara dibuka dengan makan siang bersama. Menunya: salad, pasta, bubur kentang dicampur bawang, dan sayur-sayuran mentah, air jeruk, air buah dan air putih biasa. Lagi-lagi aku mual mencicipi semua itu. Namun, perutku harus tetap diisi agar aku tidak sakit dan tetap kuat menjalani acara hari itu. Acara hari itu khusus untuk kami murid-murid dari Indonesia saja. Sedangkan murid-murid yang berasal dari negara lainnya telah mengikuti orientasi dua hari sebelum kami.
Aku mengikuti acara pembukaan dan mendengarkan kata sambutan dari orang-orang penting dalam programku dengan terkantuk-kantuk. Kepala program tersebut mengatakan kalau kami semua terlihat mengalami jet lag (ngantuk berat karena adanya perbedaan waktu yang berbanding terbalik dengan waktu di negara asal). Kami diberi penjelasan-penjelasan penting, dokumen-dokumen, peta kampus, Kartu by pass metro valley (kartu by pass sebagai pengganti uang untuk menaiki transportasi umum di Arizona, jadwal pelajaran, dan buku-buku yang kubutuhkan sesuai dengan jadwal pelajaranku.
Ternyata kedelapanbelas dari kami tidak berada di kelas yang sama. Kami dibedakan berdasarkan score TOEFL kami. Kelasnya terbagi menjadi kelas basic1, basic2, intermediate 1, intermediate 2, advace 1 dan advance 2.
Kegiatan hari itu diakhiri dengan tour around the campus (mengelilingi lokasi kampus). Wuah, kampusnya benar-benar luas. Aku pasti harus rajin jalan kaki mengelilinginya supaya hafal bagian-bagian kampus tersebut. Pemberhentian terakhir waktu itu adalah kantor AECP (American English Cultural Program). Sebuah tempat yang akan menjadi tempat untuk mengurus segala keperluan admininstrasiku nantinya.
Pukul 05.30 p.m, Carmen dan Natsumi menjemputku di depan bookstore dan langsung membawaku pulang. Carmen kembali mengingatkanku untuk mencuci tangan. Aku minta izin kepadanya untuk melaksanakan sholat magrib. Dia mempersilahkanku dengan penuh pengertian.
Carmen telah memasakkanku nasi. Kulihat kompor (stove) nya kotor gara-gara lelehan uap nasi yang dimasakkannya buatku. Dia mengatakan kepadaku bahwa ia hanya akan memasakkanku nasi sekali dalam seminggu untuk mengirit penggunaan listrik dan menjaga kompornya agar tetap bersih. Dalam sekali masak, dia akan memasaknya untuk porsiku seminggu kemudian menyimpan nasi tersebut didalam kotak dan menaruhnya di kulkas. Jadi, aku tinggal memanaskannya kapan saja aku butuh di microwave (alat pemanas makanan dan minuman).
Setelah makan, Carmen membawa aku keluar dengan mobilnya, kemudian memarkir mobilnya dipinggir jalan dekat sebuah bus stop. Aku bertanya-tanya dengan apa yang akan dilakukannya. Ternyata dia mengajariku cara pergi ke kampus dengan menaiki metro valley (bus). Bus yang harus kunaiki untuk pulang dan pergi ke kampus adalah bus dengan kode angka 72, jadi aku harus jeli melihat kode tersebut supaya tidak nyasar nantinya.
Carmen mengajariku mulai dari menunggu bus disebelah kanan jalan raya, duduk dikursi bus stop, ketika bus datang harus berdiri, bus akan berhenti di depan kita, pintu bus akan terbuka otomatis, masuk ke bus melewati pintu depan, memasukkan kartu by pass ke dalam mesin pembayaran untuk discan, duduk dikursi penumpang yang bukan untuk penyandang cacat. Karena tempat duduk penyandang cacat dan orang normal dibedakan. Kemudian berhenti hanya bisa dibus stop saja.
Untuk mengatakan kepada sopirnya kalau kita mau berhenti di bus stop yang dibutuhkan, kita harus menekan sebuah tombol atau menarik dawai kuning yang melintang disepanjang jendela bus, maka akan keluar nada “ting” dan dilayar infra red kaca depan bus terlihat tulisan “stop request”, maka sopir bus tersebut akan menurunkan kita di bus stop terdekat. Yang lebih mengesankan lagi, didalam bus tersebut sangat nyaman sekali karena penumpang tidak boleh makan dan minum di atas bus, penumpang tidak boleh menghidupkan musik keras-keras, bahkan sopirnya pun harus menggunakan headshet kalau ingin mendengarkan music sendiri.
Untuk mengisi waktu didalam bus, kulihat orang-orang mempergunakannya dengan tidur-tidur ayam, mendengarkan mp3 memakai headshet dan membaca buku. Turun dari bus kami bersiap-siap menyeberangi jalan raya. Namun, Carmen mengatakan kepadaku bahwa kami harus memencet tombol lampu untuk menyeberang bagi pejalan kaki dan menunggu lampu lalu lintas yang bergambar telapak tangan menyala. Setelah lampu yang bergambar telapak tangan menyala, mobil dan kedaraan bermotor lainnya akan berhenti, kita bisa menyeberangi jalan tersebut dengan aman.
Sampai dirumah, Carmen mengajariku cara mencuci pakaian (laundry) dengan mesin cucinya dan menggunakan mesin pengering pakaian yang ada disamping mesin cuci, menggantung pakaian yang telah dicuci dengan hanger ditempat yang telah disediakan. Dia mengatakan kalau aku hanya boleh mencuci pakaian sekali dalam seminggu dan harus lewat dari jam sembilan malam untuk menghemat penggunaan air dan listriknya. Dia mengajariku membuka dan mengunci pintu, dia memberiku sebuah kunci rumah yang akan kukembalikan lagi nantinya ketika aku akan pulang ke Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar