Aku mencari-cari orang yang akan menjadi keluarga
angkat ku. Di tengah kerumunan kulihat seorang wanita meksiko dan seorang gadis
jepang yang cantik memegang kertas putih ukuran 100x100 cm bertuliskan namaku.
Tanpa berfikir panjang kuhampiri mereka dan memperkenalkan diri. Mereka
menyalamiku dan dengan refleks nya aku menciumi punggung tangan wanita meksiko
yang akan menjadi ibu angkatku itu.
Namun dia terlihat terkejut dan agak tidak senang
dengan sikapku yang demikian. Aku meminta maaf kepadanya dan menjelaskan kalau
di Indonesia menciumi tangan orang yang lebih tua merupakan salah satu norma
kesopanan untuk menunjukkan rasa hormat.
Hufft, aku benar-benar deg-deg an karena menunjukkan
kesan pertama yang membuatnya merasa aneh terhadapku. Nama wanita meksiko
tersebut adalah Carmen Romero. Umurnya sudah 60 tahun namun masih terlihat
seperti wanita umur 40 an. Selanjutnya gadis jepang yang bersamanya adalah
Natsumi Namba, Umurnya 20 tahun. Namun tubuhnya yang tinggi dan berbadan besar
membuatnya seperti berumur 25 tahun.
Carmen udah gak sabaran pengen membawaku pulang
kerumahnya secepat mungkin. Namun panitia yang ngurusin kami mengajak berfoto bersama.
Dengan berat hati Carmen memilih berdiri di bagian belakang sehingga dia tidak
tertangkap oleh kamera. Sedangkan aku
mengambil posisi paling depan karena aku menyadari kalau diri ku tidak terlalu
tinggi untuk berdiri di bagian belakang.
Aku merasa sedih, sebab semua teman-temanku berfoto
disamping house family nya masing-masing sedangkan aku tidak. Kutepis rasa itu
karena mengingat pertualangan yang akan kulalui membuat ku merasa deg-deg an.
Aku deg-deg an membayangkan hidup dengan orang lain yang beda agama, beda kewarganegaraan
bahkan beda budaya denganku. Kesan pertama di bandara aja udah bikin mentalku
kocar kacir.
Saat orang lain masih beramah tamah dengan yang
lainnya, Carmen buru-buru mengajakku pulang. Aku manut saja dan menenteng koper
ku yang berat banget. Mereka tidak membantuku sedikitpun membawanya. Aku
menaikkan sendiri koperku ke atas mobilnya. Saat itu pinggangku serasa mau
patah sebab koper yang berat itu hampir sama besarnya dengan badanku yang
kecil. Tapi mereka tidak mau tahu dengan apa yang kurasakan.
Aku duduk di belakang Natsumi. Carmen menyetir
mobilnya dengan perlahan. Aku baru sadar kalau posisi setir mobil di Amerika
berada disebelah kiri. Di sepanjang jalan dia menceritakan semua yang dirasanya
penting untuk kuketahui tentang Arizona. Namun aku tidak mengerti sedikitpun
tentang apa yang disampaikannya kepadaku karena kepalaku masih puyeng dan
tubuhku masih terasa letih setelah menempuh perjalanan yang panjang dari
Jakarta ke Arizona.
Coba waktu itu aku membawa alat perekam, lumayan
bisa jadi kenang-kenangan juga tuh. Namun yang bisa kulakukan waktu itu
hanyalah merespon semua ceritanya dengan kata “o I see”, “oh yea”, “yes”, “no”
and cengegesan sambil menikmati indahnya pemandangan sore hari kota phoenix
yang penuh dengan tumbuhan kaktus raksasa, padang pasir dan lingkungan yang
benar-benar bersih tanpa sampah secuilpun.
Sampai di rumah, aku menurunkan sendiri koperku
dengan susah payah. Carmen menyuruhku mencuci tangan terlebih dahulu sebelum
melakukan apapun dirumahnya. Kemudian dia memperkenalkan semua bagian rumahnya
kepadaku, mulai dari “rest room” atau kamar mandi, kamarku, dan dapur.
Dia mulai menyebutkan semua peraturan yang harus
kujalani selama 2 bulan dirumahnya mulai dari mencuci tangan setiap kali sampai
dirumah, menjaga lantai, dinding, dan kaca kamar mandi untuk tetap kering.
Harus hemat dalam menggunaan air dan listrik. Kalau mau mandi atau mencuci
harus diluar jam 5-9 sore dan 5-9 pagi.
Kipas angin ruangan harus dihidupkan saat mandi, setelah mandi pintu kamar
mandi harus dibiarkan terbuka. Yang lebih parahnya lagi handuk untuk madi harus
diganti sekali sehari. Jadi dalam seminggu aku harus menghabiskan 7 handuk
untuk dipakai.
Aku benar-benar surprise dan lututku gemetar sebab
yang kurasakan waktu itu adalah lapar dan haus. Aku membayangkan betapa
ribetnya semua peraturan rumahnya yang belum pernah kujalani sebelumnya.
Salahku juga sih karena dalam application form homestay aku meminta housefamily
yang tidak memiliki anjing dan kucing serta binatang peliharaan lainnya.
Untuk menentramkan hatiku, aku minta izin kepadanya
untuk melakukan sholat magrib sebab waktu itu jam sudah menunjukkan jam 7
malam. Padahal sebenarnya waktu magrib disana itu sekitar jam 5 an. Aku baru
menyadarinya sehari setelah itu karena mengecek di internet. Ia mengantarku ke
kamar dan menerangkan lagi peraturan buat kamar tersebut, Mulai dari cara
menghidupkan lampu, membuka dan menutup gorden, bed cover yang gak boleh kusut.
Ampun deh aku waktu itu. Tapi kuiyakan aja semua yang disampaikannya itu.
Aku merasakan semua itu seperti mimpi. Sebab
dirumahku aku hanya tidur di dalam kamar yang tidak berloteng, berlantaikan
tanah dan kulapisi dengan karton serta tikar pandan. Sedangkan di sini aku
tidur dalam ruangan kamar yang nyaman berloteng mewah, lantai yang beralaskan
permadani sutra, dan kasur empuk yang besar dan putih bersih.
Biasanya aku
mandi di sungai bergabung dengan masyarakat kampungku. Sedangkan disini
aku mandi dalam ruagan wangi yang nyaman, pakai shower, bath tub, kipas angin,
lemari peralatan bathroom yang mewah serta kaca yang besar untuk berhias.
Biasanya aku makan hanya dengan duduk bersila di atas lantai kasar yang dialasi
tikar pandan. Sekarang aku makan di atas meja makan yang mewah pakai tatakan,
menggunakan sendok, garpu dan pisau. Aku berfikir ternyata begitu rasanya jadi
orang kaya. Aku langsung tersadar karena hal itu hanya akan kulalui selama 2
bulan.
Waktu mau berwuduk, aku tutup pintu rest room itu
dengan perlahan tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun. Sebab menimbulkan bunyi
ketika berjalan, membuka dan menutup pintu juga termasuk salah satu
pantangannya. Aku masuk ke dalam bathtub dan menutupkan kerainya serapat
mungkin karena aku takut membasahi lantai kamar mandi. Aku membersihkan badanku
dan berwuduk. Aku sholat di atas karpet lantai kamarku yang nyaman. Aku
mengira-ngira arah kiblat.
Setelah selesai melakukan salam diakhir sholatku.
Kulihat Carmen berdiri dipintu kamarku dengan tercengang melihat apa yang aku
lakukan. Dia bertanya kepadaku “what are you doing on the floor (apa yang kamu
lakukan dilantai)”. Aku mengatakan “this is the way for me to praying (ini
adalah caraku sholat)”. Dia terpana dan aku yakin masih banyak yang ingin
ditanyakannya kepadaku tentang mukena yang kupakai dan gerakan sujudku menciumi
sajadah dilantai. Ia meminta maaf dan menungguku di meja makan bersama Natsumi.
Selesai membereskan peralatan sholat, aku menyusul
mereka ke meja makan. Aku melangkah ke ruang makan tanpa memakai alas kaki
sebab kulihat lantainya bersih dan licin. Carmen menegurku dan menyuruhku untuk
memakai sandal karena sandal atau sepatu hanya dibuka saat mau tidur saja. Aku meminta maaf dan kembali
ke kamarku untuk memakai sandalku. Kulihat Natsumi hanya tersenyum melihat
polahku.
Diatas meja sudah tersedia semua jenis makanan dan
minuman amerika mulai dari yang mentah, masak, bahkan sajian fast food. Aku
bingung harus memilih jenis makanan yang pas buatku. Mereka memperkenalkan
semua jenis makanan itu kepadaku, mulai dari nama dan rasanya. Aku tidak
konsentrasi sedikitpun dan tidak paham dengan apa yang mereka sampaikan
sehingga aku hanya bisa melongo dan mengangguk-angguk culun dihadapan mereka
sambil berkata “o i see”, “yes”, “no”, “maybe”, etc.
Selesai menerangkan semuanya mereka menanyakan
makanan yang ingin kumakan. Aku menjawab tidak tahu karena aku belum pernah
mencicipi makanan yang telah mereka jelaskan tersebut dan perutku juga belum mau beradaptasi dengan
semua makanan tersebut. Dengan penuh keyakinan, mereka menawarkan salad
kepadaku dan mengatakan kalau aku pasti menyukainya. Aku menjadi penasaran
untuk mencicipinya karena perutku benar-benar sangat lapar. Namun, saat sendok
udah didepan perutku, aroma salad yang tercium di hidungku membuat perutku
mual. Aku minta maaf kepada mereka karena tidak bisa memakan salad tersebut.
Mereka merasa kasihan kepadaku karena tidak ada
satupun makanan mereka yang pas dengan perutku. Lalu mereka menanyai makanan
yang biasa aku makan di Indonesia. Aku menjelaskan makanan pokok empat sehat
dan 5 sempurna yang menjadi santapan wajibku di Indonesia. Carmen memutuskan
akan membawa aku dan Natsumi ke pasar untuk membeli kebutuhan makananku.
Tiba-tiba aku melihat sekotak mie di sudut lemari
makanannya. Bentuknya seperti pop mie tapi dengan merek yang berbeda yaitu
“maruchan”. “I like that noodle” kataku kepada Carmen. “noodle? There is no
noodle here” Carmen menjawab bingung.
Aku berjalan mengambil maruchan tersebut dan
menunjukkan kepadanya. Ia mengangguk-angguk dan berkata “so, you will eat
this?”. Aku mengangguk dan berkata “in my country I often eat this noodle”. Ia
berkata dengan agak keras kepadaku “it is not noodle, but called this soup”. Oh
my god, ternyata bagi mereka mie instant itu adalah soup. Padahal kalau di
Indonesia soup adalah air kaldu yang direbus pake daging atau bahan-bahan
lainnya. Aku mengatakan kepadanya kalau aku mau memakan mie saja untuk
menggajal perutku sebelum berangkat ke pasar.
Ia memasaknya selama tiga menit dan menyuruhku
menyiapkan tatakan makanku, ternyata dirumahnya kalau makan harus menggunakan
tatakan atau alas supaya meja makannya tidak kotor. Kemudian ia juga menyuruhku
menyiapkan garpu dan sendok.
Kami menikmati makan malam itu dengan menu yang
berbeda. Natsumi dan Carmen makan salad sedangkan aku hanya makan maruchan. Aku
hanya menggunakan sendok dan tidak menggunakan garpu saat makan. Lagi-lagi
Carmen protes terhadapku. Katanya kalau makan aku harus menggunakan garpu dan
sendok secara bersamaan. Aku mengatakan kepadanya kalau di Indonesia aku hanya
makan menggunakan tangan kananku tanpa sendok. Dia benar-benar terkejut dan
terlihat bergidik mendengar ucapanku.
Saking lahapnya aku menikmati mie kuah tersebut
membuatku tanpa sengaja mengeluarkan bunyi cepak-cepak dan slurrrp,,,lagi-lagi
Carmen menegurku kalau aku tidak boleh makan mengeluarkan bunyi. Lagi-lagi kaki
ku bergetar karena masih saja salah dimatanya. Katanya aku mirip dengan gadis
hongkong yang juga pernah tinggal disana.
Setelah makan aku menyabuni piringku dengan cairan
pembersih piring dan mencucinya dengan air bersih. Ketika aku mau
mengeringkannya, Carmen menyuruhku untuk memasukkan piring yang menurutku sudah
sangat bersih itu kedalam mesin pencuci piring. Awalnya aku tidak tahu, aku
kira itu adalah lemari biasa tempat menyimpan peralatan dapurnya, he,,he,,he.
Selanjutnya aku disuruhnya melap meja dan tatakan makan bagianku. Kulihat
Natsumi dan dia sudah membersihkan bagiannya masing-masing.
Selanjutnya aku dan Natsumi berangkat ke pasar
bersamanya. Saat itu sudah menunjukkan jam 8 malam. Dalam bayanganku pasar yang
akan kami tuju adalah pasar tradisional yang ada di kampungku. Ternyata
dugaanku salah, ia malah membawaku ke sebuah supermarket yang besar namanya
“wallmart”. Disana tersedia semua kebutuhan hidup yang dibutuhkan manusia. Aku
bertanya kepadanya “is there any traditional market here”. Dia terkejut dan
berkata “no, you will not find that such market here”.
Aku terdiam dan mengikuti kemanapun dia berjalan.
Kulihat dia memilih-milih jenis makanan yang dibutuhkan dengan terlebih dahulu
melihat kandungan lemak dan sugar yang tertera di kaleng makanan tersebut.
Katanya dia selalu hati-hati dalam memilih makanan karena dia tidak mau menjadi
over weight alias gemuk gara-gara makanan. Dia juga mengambil sekardus maruchan
dan mengatakan kepadaku kalau maruchan itu akan menjadi makanan pokokku.
Ampuun deh, masak selama dua bulan disana aku akan
makan mie instan?? Bisa penyakitan donk aku sampai di Indonesia. Aku
menjelaskan kepadanya kalau aku butuh nasi sebagai makanan pokok ku serta
sayur-sayuran, daging sapi dan daging ayam sebagai tambahannya. Ia
mengangguk-angguk dan mengambil sebungkus beras dan daging sapi. Ia menyuruhku
memilih apa saja yang kuinginkan saat itu. Namun, saat itu aku masih terbawa
kebiasaan Indonesiaku yang malu-malu tapi mau. Sehingga aku tidak mengambil
jenis makanan apapun. Sampai di rumah aku benar-benar menyesal karenanya.
Sampainya di rumah aku membantunya menyusun makanan
yang sudah dibeli untuk dimasukkan kedalam lemari makanannya. Ya ampunn,
ternyata lemari makanannya banyak banget. Kalau kuhitung ada 8 buah. Semuanya
penuh dengan aneka jenis makanan yang tidak kukenal.
Lagi-lagi dia juga bercerita kepadaku kalau di
rumahnya pernah tinggal juga mahasiswa angkat seperti aku yang berasal dari
berbagai negara seperti korea, hongkong, jepang, china, dan arab. Mereka semua
memiliki banyak kebiasaan jelek di matanya sehingga tidak ada yang mampu
bertahan lama tinggal dengannya. Paling lama hanya 3 minggu. Natsumi adalah
mahasiswa pertama yang mampu bertahan lama karena ia telah tinggal selama dua
bulan bersamanya.
Carmen memuji-muji Natsumi dihadapanku. Katanya
Natsumi anak yang baik, rajin, bersih, sopan, mau memakan semua jenis makanan
dan selalu mengerjakan setiap tugas sekolah dengan baik. Aku mengumpat dalam
hati karena merasa dia itu sedang menyindirku, menantangku apakah aku sanggup
bertahan atau tidak. Aku merespon ceritanya dengan senyum kecut dan
berkomitment dalam hati kalau aku akan menjadi anak yang baik melebihi Natsumi
selama tinggal di rumahnya itu.
Hari pertama, aku bangun kesiangan karena terlalu
capek. Tambahan lagi kasurnya juga empuk. “reni, wake up. It’s almost eight o
‘clock”. Carmen mengetok-ngetok pintu kamarku. Walaupun udah jam 7.35 a.m, aku
tetap sholat shubuh. Semalam, aku telah mencari waktu sholat Arizona di google
dengan sisa-sisa baterei yang ada di notebookku. Hmm, tentang adaptorku,
adaptor adalah sebuah alat yang kita gunakan untuk mencas baterei peralatan
elektronik kita karena bentuk stop kontak di amerika berbeda dengan bentuk stop
kontak yang ada di Indonesia. Aku masih belum menemukannya. Walaupun tadi malam
Carmen dan Natsumi udah menemaniku ke Wallmart dan beberapa toko lain, kami
tetap belum mendapatkannya.
Aku mandi kilat dan segera bersiap-siap. Perutku
lapar banget. Hanya pisang yang bisa kusantap pagi ini. Karena aku belum biasa
memakan makanan yang lainnya. Sebelum meninggalkan kamar, aku check and recheck
lagi. Eh, kasur dan selimutku masih berantakan euy. Aku segera membereskanya
serapi mungkin.
Hari pertama ini, Carmen dan Natsumi yang
mengantarku ke kampus karena aku belum tahu lokasi kampusku secara detail.
Walaupun tadi malam Carmen udah membawaku mengelilingi daerah “tempe” termasuk
kampusku. Tapi aku tetap belum bisa mempelajari lokasi tersebut karena
pemandangan dimalam hari dan di siang hari jelas jauh berbeda. Carmen
menurunkanku di depan bookstore (toko buku) karena disana terlihat Dini berdiri
menunggu teman-teman yang lain bersama housefathernya (bapak angkatnya).
Selanjutnya Carmen dan Natsumi pulang kerumah dan mengatakan akan menjemputku
lagi di tempat yang sama.
Setelah beberapa lama menunggu akhirnya
teman-temanku yang 18 orang telah berkumpul. Kami dibawa ke sebuah ruangan
pertemuan kampus untuk mengikuti welcoming lunch. Acara dibuka dengan makan
siang bersama. Menunya: salad, pasta, bubur kentang dicampur bawang, dan
sayur-sayuran mentah, air jeruk, air buah dan air putih biasa. Lagi-lagi aku
mual mencicipi semua itu. Namun, perutku harus tetap diisi agar aku tidak sakit
dan tetap kuat menjalani acara hari itu. Acara hari itu khusus untuk kami
murid-murid dari Indonesia saja. Sedangkan murid-murid yang berasal dari negara
lainnya telah mengikuti orientasi dua hari sebelum kami.
Aku mengikuti acara pembukaan dan mendengarkan kata
sambutan dari orang-orang penting dalam programku dengan terkantuk-kantuk.
Kepala program tersebut mengatakan kalau kami semua terlihat mengalami jet lag
(ngantuk berat karena adanya perbedaan waktu yang berbanding terbalik dengan
waktu di negara asal). Kami diberi penjelasan-penjelasan penting,
dokumen-dokumen, peta kampus, Kartu by pass metro valley (kartu by pass sebagai
pengganti uang untuk menaiki transportasi umum di Arizona, jadwal pelajaran,
dan buku-buku yang kubutuhkan sesuai dengan jadwal pelajaranku.
Ternyata kedelapanbelas dari kami tidak berada di
kelas yang sama. Kami dibedakan berdasarkan score TOEFL kami. Kelasnya terbagi
menjadi kelas basic1, basic2, intermediate 1, intermediate 2, advace 1 dan
advance 2.
Kegiatan hari itu diakhiri dengan tour around the
campus (mengelilingi lokasi kampus). Wuah, kampusnya benar-benar luas. Aku
pasti harus rajin jalan kaki mengelilinginya supaya hafal bagian-bagian kampus
tersebut. Pemberhentian terakhir waktu itu adalah kantor AECP (American English
Cultural Program). Sebuah tempat yang akan menjadi tempat untuk mengurus segala
keperluan admininstrasiku nantinya.
Pukul 05.30 p.m, Carmen dan Natsumi menjemputku di
depan bookstore dan langsung membawaku pulang. Carmen kembali mengingatkanku
untuk mencuci tangan. Aku minta izin kepadanya untuk melaksanakan sholat
magrib. Dia mempersilahkanku dengan penuh pengertian.
Carmen telah memasakkanku nasi. Kulihat kompor
(stove) nya kotor gara-gara lelehan uap nasi yang dimasakkannya buatku. Dia
mengatakan kepadaku bahwa ia hanya akan memasakkanku nasi sekali dalam seminggu
untuk mengirit penggunaan listrik dan menjaga kompornya agar tetap bersih.
Dalam sekali masak, dia akan memasaknya untuk porsiku seminggu kemudian
menyimpan nasi tersebut didalam kotak dan menaruhnya di kulkas. Jadi, aku
tinggal memanaskannya kapan saja aku butuh di microwave (alat pemanas makanan
dan minuman).
Setelah makan, Carmen membawa aku keluar dengan
mobilnya, kemudian memarkir mobilnya dipinggir jalan dekat sebuah bus stop. Aku
bertanya-tanya dengan apa yang akan dilakukannya. Ternyata dia mengajariku cara
pergi ke kampus dengan menaiki metro valley (bus). Bus yang harus kunaiki untuk
pulang dan pergi ke kampus adalah bus dengan kode angka 72, jadi aku harus jeli
melihat kode tersebut supaya tidak nyasar nantinya.
Carmen mengajariku mulai dari menunggu bus disebelah
kanan jalan raya, duduk dikursi bus stop, ketika bus datang harus berdiri, bus
akan berhenti di depan kita, pintu bus akan terbuka otomatis, masuk ke bus
melewati pintu depan, memasukkan kartu by pass ke dalam mesin pembayaran untuk
discan, duduk dikursi penumpang yang bukan untuk penyandang cacat. Karena
tempat duduk penyandang cacat dan orang normal dibedakan. Kemudian berhenti
hanya bisa dibus stop saja.
Untuk mengatakan kepada sopirnya kalau kita mau berhenti
di bus stop yang dibutuhkan, kita harus menekan sebuah tombol atau menarik
dawai kuning yang melintang disepanjang jendela bus, maka akan keluar nada
“ting” dan dilayar infra red kaca depan bus terlihat tulisan “stop request”,
maka sopir bus tersebut akan menurunkan kita di bus stop terdekat. Yang lebih
mengesankan lagi, didalam bus tersebut sangat nyaman sekali karena penumpang
tidak boleh makan dan minum di atas bus, penumpang tidak boleh menghidupkan
musik keras-keras, bahkan sopirnya pun harus menggunakan headshet kalau ingin
mendengarkan music sendiri.
Untuk mengisi waktu didalam bus, kulihat orang-orang
mempergunakannya dengan tidur-tidur ayam, mendengarkan mp3 memakai headshet dan
membaca buku. Turun dari bus kami bersiap-siap menyeberangi jalan raya. Namun,
Carmen mengatakan kepadaku bahwa kami harus memencet tombol lampu untuk
menyeberang bagi pejalan kaki dan menunggu lampu lalu lintas yang bergambar
telapak tangan menyala. Setelah lampu yang bergambar telapak tangan menyala,
mobil dan kedaraan bermotor lainnya akan berhenti, kita bisa menyeberangi jalan
tersebut dengan aman.
Sampai dirumah, Carmen mengajariku cara mencuci
pakaian (laundry) dengan mesin cucinya dan menggunakan mesin pengering pakaian
yang ada disamping mesin cuci, menggantung pakaian yang telah dicuci dengan
hanger ditempat yang telah disediakan. Dia mengatakan kalau aku hanya boleh
mencuci pakaian sekali dalam seminggu dan harus lewat dari jam sembilan malam
untuk menghemat penggunaan air dan listriknya. Dia mengajariku membuka dan
mengunci pintu, dia memberiku sebuah kunci rumah yang akan kukembalikan lagi
nantinya ketika aku akan pulang ke Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar