Pengikut

Kamis, 14 Maret 2013

*COBAAN YANG PAHIT IN JOURNEY TO TES TOEFL Q*


Dengan percaya diri aku melengkapi semua persyaratanku termasuk surat rekomendasi dari dua orang dosenku. Untuk mengikuti tes TOEFL, aku memberanikan diri meminjam uang dari teman sekelasku. Aku harus berangkat ke luar propinsi dengan bus selama 3 jam perjalanan dari kampungku. Aku mengikuti tes TOEFL di balai bahasa sebuah Universitas Negeri di propinsiku. Aku tidak tahu jenis tes TOEFL apa yang kuikuti saat itu. Yang kutahu bayarannya Cuma Rp.100.000,- dan soal-soalnyapun tidak terlalu asing bagiku. Aku harus kembali lagi seminggu setelanhya untuk mengambil sertifikat hasil tes tersebut.
Dalam penantianku yang seminggu tersebut, salah seorang saudara jauhku berniat menggadaikan handphone nya kepadaku karena dia membutuhkan uang untuk hal yang katanya sangat penting sekali. Saat itu aku memang memiliki uang tabungan sebesar Rp.500.000,- hasil mengajar privatku setiap malam yang telah kukumpulkan selama hampir 6 bulan. Uang tersebut sebenarnya kupersiapkan untuk membayar uang semester 6 ku. Namun, dia berjanji akan mengambil handphonenya kembali dalam waktu sebulan. Rasanya waktu tersebut masih bisa bagiku untuk membayar uang semesterku nantinya. Aku memegang handphonenya dan meminjamkan uangku yang Rp.500.000,- kepadanya.
Tepat pada hari yang ditentukan untuk mengambil sertifikat TOEFLku, aku kembali pergi ke propinsi sendirian dengan membawa uang pas-pasan hanya untuk ongkos. Sebenarnya kondisiku saat itu kurang fit. Aku lagi demam dan kepalaku benar-benar pusing. Aku sengaja meminum obat anti mabuk supaya kondisi fisikku bisa tetap stabil selama di perjalanan. Namun, tanpa kusadari aku tertidur pulas selama diperjalanan. Ketika turun dari bus dan mengecek jam, aku baru tersadar kalau handphone saudara jauhku yang sedang digadaikan kepadaku tersebut telah raib. Aku benar-benar syok dan menghibur diriku kalau handphone tersebut pasti masih di dalam tasku.
Aku bergegas menuju balai bahasa tempat mengambil sertifikatku tersebut. Selanjutnya aku membongkar semua isi tasku di teras universitas tersebut. Namun aku tetap tidak menemukan handphone tersebut. Aku melihat hasil tes TOEFL ku ternyata 513. Aku semakin bersemangat mencari kembali bus yang telah kunaiki sebelumnya. Aku berlarian si sepanjang jalan dan akhirnya aku menemukan kembali bus yang kucari. Aku menyetop bus tersebut dan melaporkan kepada sopirnya kalau aku telah kehilangan handphoneku di atas busnya. Dia menyuruhku mengecek di sekitar tempat dudukku dan mencoba menelvon nomorku. Namun hasilnya nihil. Untuk menghibur diriku, aku meutuskan untuk pergi ke tempat bibiku yang juga tinggal di daerah tersebut.
Setelah naik turun angkot selama beberapa menit, akhirnya aku sampai dirumah bibi-bibiku. Aku mengadukan semua kejadian yang kualami pada hari itu kepada mereka. Mereka benar-benar terkejut mendengar ceritaku. Bibi-bibiku menasehatiku agar mengikhlaskan saja semua yang telah kualami tersebut. Mereka yakin kalau aku akan mendapatkan hadiah yang besar dibalik kejadia tersebut. Mereka memberiku uang untuk pulang ke kampong.
Aku sampai di rumah jam 8 malam dengan lunglai. Ternyata bapak, ibu dan bibiku yang dirumah telah menghubungi nomor handphoneku berkali-kali sepanjang hari. Mereka marah kepadaku karena katanya aku tidak mengangkat telvon mereka dan tidak juga membalas sms mereka. Aku baru sadar kalau hari itu aku lupa minta izin kepada mereka kalau aku pergi ke propinsi. Namun, aku juga heran mendengar perkataan mereka kalau nomor handphoneku yang hilang itu masih aktif. Aku meminjam handphone bibiku dan menelvon ke nomorku. Ternyata memang masih aktif namun tidak ada jawaban. Padahal waktu siang harinya aku menghubungi nomor tersebut dari hanphone supir bus, nomorku sudah tidak aktif lagi.
Aku menceritakan semua yang telah kualami pada hari itu kepada ayah, ibu dan bibiku yang dirumah. Mereka terlihat marah dan kecewa denganku. Mereka mengatakan kalau mereka juga tidak memiliki uang untuk membayar uang kuliahku. Karena handphone tersebut hilang, aku tidak bisa lagi mendapatkan uangku yang Rp.500.000,- dari saudara jauhku. Akhirnya malam itu aku menangis membayangkan kalau aku pasti tidak bisa lagi kuliah di semester 6 ku. Aku memutuskan akan ambil cuti saja buat semester 6 ku. Namun kabar tersebut terdengar oleh adik-adik bapakku. Mereka patungan mengumpulkan uang dan menghiburku untuk tetap kuliah di semester 6 ku. Melihat kesungguhan mereka memperjuangkanku, aku kembali bangkit dan bersemangat melanjutkan kehidupanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar