Dengan
percaya diri aku melengkapi semua persyaratanku termasuk surat rekomendasi dari
dua orang dosenku. Untuk mengikuti tes TOEFL, aku memberanikan diri meminjam
uang dari teman sekelasku. Aku harus berangkat ke luar propinsi dengan bus selama
3 jam perjalanan dari kampungku. Aku mengikuti tes TOEFL di balai bahasa sebuah
Universitas Negeri di propinsiku. Aku tidak tahu jenis tes TOEFL apa yang
kuikuti saat itu. Yang kutahu bayarannya Cuma Rp.100.000,- dan soal-soalnyapun
tidak terlalu asing bagiku. Aku harus kembali lagi seminggu setelanhya untuk
mengambil sertifikat hasil tes tersebut.
Dalam
penantianku yang seminggu tersebut, salah seorang saudara jauhku berniat menggadaikan
handphone nya kepadaku karena dia membutuhkan uang untuk hal yang katanya
sangat penting sekali. Saat itu aku memang memiliki uang tabungan sebesar
Rp.500.000,- hasil mengajar privatku setiap malam yang telah kukumpulkan selama
hampir 6 bulan. Uang tersebut sebenarnya kupersiapkan untuk membayar uang
semester 6 ku. Namun, dia berjanji akan mengambil handphonenya kembali dalam
waktu sebulan. Rasanya waktu tersebut masih bisa bagiku untuk membayar uang
semesterku nantinya. Aku memegang handphonenya dan meminjamkan uangku yang
Rp.500.000,- kepadanya.
Tepat
pada hari yang ditentukan untuk mengambil sertifikat TOEFLku, aku kembali pergi
ke propinsi sendirian dengan membawa uang pas-pasan hanya untuk ongkos. Sebenarnya
kondisiku saat itu kurang fit. Aku lagi demam dan kepalaku benar-benar pusing.
Aku sengaja meminum obat anti mabuk supaya kondisi fisikku bisa tetap stabil
selama di perjalanan. Namun, tanpa kusadari aku tertidur pulas selama
diperjalanan. Ketika turun dari bus dan mengecek jam, aku baru tersadar kalau
handphone saudara jauhku yang sedang digadaikan kepadaku tersebut telah raib.
Aku benar-benar syok dan menghibur diriku kalau handphone tersebut pasti masih
di dalam tasku.
Aku
bergegas menuju balai bahasa tempat mengambil sertifikatku tersebut.
Selanjutnya aku membongkar semua isi tasku di teras universitas tersebut. Namun
aku tetap tidak menemukan handphone tersebut. Aku melihat hasil tes TOEFL ku
ternyata 513. Aku semakin bersemangat mencari kembali bus yang telah kunaiki
sebelumnya. Aku berlarian si sepanjang jalan dan akhirnya aku menemukan kembali
bus yang kucari. Aku menyetop bus tersebut dan melaporkan kepada sopirnya kalau
aku telah kehilangan handphoneku di atas busnya. Dia menyuruhku mengecek di
sekitar tempat dudukku dan mencoba menelvon nomorku. Namun hasilnya nihil.
Untuk menghibur diriku, aku meutuskan untuk pergi ke tempat bibiku yang juga
tinggal di daerah tersebut.
Setelah
naik turun angkot selama beberapa menit, akhirnya aku sampai dirumah bibi-bibiku.
Aku mengadukan semua kejadian yang kualami pada hari itu kepada mereka. Mereka
benar-benar terkejut mendengar ceritaku. Bibi-bibiku menasehatiku agar
mengikhlaskan saja semua yang telah kualami tersebut. Mereka yakin kalau aku
akan mendapatkan hadiah yang besar dibalik kejadia tersebut. Mereka memberiku
uang untuk pulang ke kampong.
Aku
sampai di rumah jam 8 malam dengan lunglai. Ternyata bapak, ibu dan bibiku yang
dirumah telah menghubungi nomor handphoneku berkali-kali sepanjang hari. Mereka
marah kepadaku karena katanya aku tidak mengangkat telvon mereka dan tidak juga
membalas sms mereka. Aku baru sadar kalau hari itu aku lupa minta izin kepada
mereka kalau aku pergi ke propinsi. Namun, aku juga heran mendengar perkataan
mereka kalau nomor handphoneku yang hilang itu masih aktif. Aku meminjam
handphone bibiku dan menelvon ke nomorku. Ternyata memang masih aktif namun
tidak ada jawaban. Padahal waktu siang harinya aku menghubungi nomor tersebut
dari hanphone supir bus, nomorku sudah tidak aktif lagi.
Aku
menceritakan semua yang telah kualami pada hari itu kepada ayah, ibu dan bibiku
yang dirumah. Mereka terlihat marah dan kecewa denganku. Mereka mengatakan
kalau mereka juga tidak memiliki uang untuk membayar uang kuliahku. Karena
handphone tersebut hilang, aku tidak bisa lagi mendapatkan uangku yang
Rp.500.000,- dari saudara jauhku. Akhirnya malam itu aku menangis membayangkan
kalau aku pasti tidak bisa lagi kuliah di semester 6 ku. Aku memutuskan akan
ambil cuti saja buat semester 6 ku. Namun kabar tersebut terdengar oleh
adik-adik bapakku. Mereka patungan mengumpulkan uang dan menghiburku untuk
tetap kuliah di semester 6 ku. Melihat kesungguhan mereka memperjuangkanku, aku
kembali bangkit dan bersemangat melanjutkan kehidupanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar