Aku
mencoba mendaftarkan diri ke sebuah SMA Unggul favorit yang ada di daerahku.
Aku diterima dengan urutan nama nomor 100 dari 300 siswa yang diterima. Saat
pendaftaran ulang, aku diharuskan membayar uang membeli pakaian seharaga
RP.565.000,-. Namun, bapakku tidak memiliki uang sepeserpun untuk hal tersebut.
Aku mencoba memohon kepada guru di sekolah tersebut agar tetap menerimaku
sebagai siswa nya. Aku berjanji kepada guru tersebut akan tetap memakai seragam
sekolah sesuai dengan peraturan mereka walaupun aku harus memakai pakaian bekas
kakak sepupuku yang juga sekolah disana.
Apa
yang kulakukan tidak membuahkan hasil. Guru tersebut justru mengusirku dan
mengatakan kalau aku tidak sanggup membayar uang sebanyak Rp.565.000,-
sebaiknya aku tidak usah mendaftar ulang disana karena masih banyak anak
cadangan yang akan mendaftar menggantikan posisiku dan mereka sanggup membayar
uang tersebut sesuai dengan yang jumlah diminta. Aku benar-benar terpukul dan
menghibur hatiku dengan berkata kepada diriku sendiri bahwa aku memang tidak
pantas diterima disekolah tersebut karena aku bukanlah dari golongan orang
kaya. Untuk membayar uang pendaftaran ulang saja yang Rp.565.000,- aku tidak
sanggup apalagi nantinya kalau aku sudah sekolah disana. Tentunya akan ada lagi
kewajiban-kewajiban lain yang lebih menyusahkanku untuk memenuhinya.
Aku
berusaha untuk ikhlas menerima kenyataan yang kuhadapi tersebut. Bapak mencoba
menyemangatiku untuk mendaftarkan diri di SMA yang ada di kampung bapakku.
Bapakku banyak kenal dengan beberapa guru yang ada di SMA tersebut karena kakak
kandungku juga bersekolah disana. Bapak menghiburku kalau disana aku bisa berhutang
dulu ke sekolah sampai sanggup membayar setiap tunggakan-tunggakanku.
Akhirnya
aku mengikuti saran bapakku. Aku diletakkan di kelas satu unggul. Semua teman
di kelas tersebut adalah teman baru bagiku karena tidak satupun dari mereka
yang kukenal sebelumnya. Aku berinteraksi dengan baik. Pada suatu hari, aku
mengikuti ujian Bahasa Indonesia. Aku tidak sempat belajar sebelumnya. Saat
soal dibagikan, aku teringat kalau sebagian besar soal tersebut persis sama
dengan soal kuis yang diadakan seminggu sebelumnya. Syetan menggodaku untuk
mencontek lembaran kuisku yang selalu kusimpan di laci mejaku.
Jantungku
berdebar keras karena aku belum pernah melakukan hal tersebut sebelumnya.
Namun, godaan syetan yang begitu dahsyat mendorong tanganku mengambil lembaran
kertas kuisku dan meletakkannnya di atas meja. Aku menutupnya dengan lembaran
soal. Aku benar-benar merasa was-was. Rona wajahku langsung berubah. Ternyata
guruku dapat membaca gerak-gerikku. Dengan santai dan penuh senyuman beliau
berjalan menuju mejaku. Aku semakin salah tingkah. Beliau membalikkan lembaran
soalku dan mengambil kertas contekanku. Selanjutnya beliau memberiku oleh-oleh
tulisn nol besar sepenuh kertas ulangan dan aku disuruh menunggu semua
teman-temanku selesai ujian di luar kelas.
Aku
benar-benar menyesal dengan hal yang telah kulakukan tersebut. Ternyata aku
tidak bisa menjadi siswa pencontek yang amatiran apalagi seorang pencontek yang
professional. Setelah jam pelajaran selesai, aku memutuskan menemui guru
tersebut di kantornya. Aku meminta maaf mengakui kesalahanku dan berjanji tidak
akan mengulanginya untuk waktu yang akan datang. Melihat kesungguhannku dalam
menyesali hal tersebut, guru tersebut memberikaku kesempatan untuk remedial
keesokan harinnya. Saat itu aku benar-benar belajar tentang pentingnya arti
kejujuran dan tanggung jawab dalam
kehidupan sekolah..
Hari-hari
selanjutnya berjalan lancar sampai akhirnya diadakan pemilihan jurusan untuk
naik ke kelas dua nantinya. Guru BK ku menyebarkan formulir yang harus kuisi
dengan pilihan jurusan yang kuinginkan di sekolah tersebut. Aku menulis IPS
pada pilihan pertamaku dan mengosongkan pilihan keduaku.
Namun,
saat menerima rapor kenaikan kelas, dibuku raporku tertulis kalimat “naik ke
kelas XI IA”. Aku benar-benar surprise dan mengajukan protes kepada wali
kelasku. Aku mengatakan kalau aku tidak mau kelas IA (Ilmu Alam) tersebut. Wali
kelasku membujuk untuk mencoba terlebih dahulu belajar di kelas IA tersebut
minimal seminggu karena beliau mengatakan kalau kemampuan dasarku memang cocok
untuk kelas tersebut. Hasil tes IQ dan nilai-nilai raporku juga mengarahkanku
untuk ke kelas IA. Aku tetap bersikeras mengatakan kepada wali kelasku untuk
tetap mengganti aku ke kelas IS (Ilmu Sosial).
Sebenarnya
jauh di dasar hatiku, aku sangat menginginkan belajar di kelas IA. Namun, aku takut kalau
pilihan belajar di IA tidak bisa membuatku melanjutkan pendidikanku menuju
universitas nantinya, Saat itu aku beranggapan kalau aku memilih kelas IA,
setelah tamat SMA aku harus langsung melanjutkan kuliahku ke kedokteran,
kebidanan, keperawatan atau kuliah guru jurusan eksak. Jika tidak maka ilmuku
tentu akan hilang dan membeku tanpa arti.
Nah,
untuk melanjutkan pendidikanku ke kuliah nantinya tentu bukanlah hal yang mudah
bagiku dan aku yakin bapakku juga tidak akan punya uang untuk hal itu. Namun,
jika aku memilih jurusan Imu Sosial, aku bisa bekerja dan mengumpulkan uang
untuk kuliah selepas aku tamat dari SMA ku. Sebab jurusan Ilmu sosial
mengajarkan bagaimana menjadi pedagang yang baik melalui mata pelajaran
ekonominya, mengajarkan cara berinteraksi dengan masyarakat melalui jurusan
sosiologinya.
Aku
tidak mau mengungkapkan semua alasanku tersebut kepada wali kelasku. Aku
membujuk bapakku agar mau berbicara kepada wali kelasku untuk memasukkan aku ke
dalam kelas IS. Akhirnya usahaku tersebut berhasil dan aku dimasukkan kedalam
kelas IS unggul di sekolahku. Dalam kelas tersebut aku banyak menemukan
teman-teman yang frustasi karena tidak bisa masuk ke kelas Ilmu Alam. Aku
selalu menghibur dan menyemangati mereka untuk tetap belajar dengan ikhlas di
dalam kelas IS.
Untuk
megembangkan bakatku aku mencoba bergabung dengan OSIS sekolahku. Setelah
melalui beberapa tes, akhirnya aku ditempatkan sebagai ketua divisi keagamaan
karena teman-teman di OSIS ku melihat banyak kemampuan positifku dalam
organisasi pramuka dan ROHIS (Rohani Islam). Kegiatan organisasi membuatku
harus memiliki uang saku tambahan untuk berbagai event yang tak terduga.
Saat
itu aku pernah dikucilkan oleh seluruh teman kelasku. Mereka kesal karena aku
telah berlaku jujur kepada guru bahasa arabku. Waktu itu kelas kami akan
menghadapi ulangan bahasa arab. Namun, teman-teman sudah mendapatkan bocoran
soal dari kelas yang lain. Mereka menyiapkan banyak contekan untuk menghadapi
ulangan tersebut. Sebagai ketua bidang keagamaan OSIS, aku benar-benar kecewa
denga ketidakjujuran yang dilakukan oleh teman-temanku tersebut. Aku melaporkan
hal tersebut sejam sebelum ulangan dimulai. Akhirnya guru bahasa arabku
menggati soal ulangnku dengan yang baru. Teman-temanku benar-benar terkejut dan
akhirnya mereka semua marah kepadaku,
Aku
tidak menyesal melakukan hal tersebut. Aku bahkan merasa puas karena telah
melakukan suatu hal yang baik. Aku merasa bersyukur karena sahabat-sahabatku
masih mau berteman denganku walaupun mereka juga protes dengan hal yang telah
kulakukan tersebut. Hari-hariku berjalan lancar dengan berbagai
aktivitas-aktivitas bermanfaat yang selalu menambah saqafah keilmuanku. Aku
semakin ketagihan mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan tambahan yang memberikan
pengalaman-pengalaman baru buatku. Namun, hal yang sering menghalangiku adalah
keminiman dana.
Aku
mulai berfikir tentang cara yang baik untuk mendapatkan tambahan jajan. Aku
jadi terinspirasi menawarkan diri untuk menjadi cleaning service kelas kepada
wali kelasku. Awalnya wali kelasku terkejut mendengar permintaanku tersebut.
Namun setelah melihat situasi teman-temanku banyak yang malas untuk melaksaakan
kewajiban piket kelas, akhirnya wali kelasku mendiskusika hal tersebut dengan teman-teman
sekelasku.
Selanjutnya
resmilah aku menjadi cleaning service sejati di kelasku. Teman-temanku
kelihatannya sangat bahagia karena mereka tidak perlu lagi repot-repot untuk
piket kelas setiap minggu. Mereka hanya cukup membayar Rp.1000,- kepada bendahara
kelasku. Nantinya bendahara menyerahkan uang sebesar Rp.30.000,- kepadaku
setiap bulannya. Ya, uang Rp.30.000,- tersebut adalah gajiku sebulan sebagai
cleaning service kelas. Walaupun sangat kecil, namun jumlah uang Rp.30.000
tersebut benar-benar berharga bagiku. Mulai saat itu aku selalu pulang lebih
lama dari semua teman-temanku. Setiap pulang sekolah aku harus menunggu kelas
sampai kosong dan menyapunya sampai bersih. Aku melakukan hal tersebut dengan
penuh keikhlasan dan kuniatkan sebagai olahraga.
Sampai
aku di kelas tiga pun teman-teman masih memintaku untuk menjadi cleaning
service kelas kami. Namun, aku meminta mereka untuk sedikit menaikkan jumlah
bayarannya. Akhirnya mereka menaikkan bayaranku Rp.15.000,-
Pada
suatu hari, teman-tema OSIS mengadakan lomba fashion show kebaya muslim bagi
seluruh kelas. Setiap kelas wajib mengirim sepasang utusan untuk mengikuti
lomba ini. Setelah diadakan diskusi kelas, tidak ada teman-temanku yang mau
menjadi utusan lomba. Akhirnya ketua kelas memintaku untuk mewakili kelas kami.
Sebenarnya aku tidak tahu apapun dalam hal fashion.
Aku
meminta pendapat sahabat-sahabatku. Mereka hanya merespon dengan sangat
sederhana dan terlihat setuju saja dengan keputusanku untuk menyelamatkan kelas
kami dari denda yang harus dibayarkan jika tidak ada utusan kelas yang datang
buat lomba tersebut. Hari-hari setelah lomba benar-benar sibuk dengan
ujian-ujian mata pelajaran. Aku sering belajar sendiri tanpa sahabat-sahabatku.
Seminggu
setelah itu aku mencoba bergabung lagi dengan sahabat-sahabatku. Ternyata
mereka sudah tidak mau lagi berteman denganku. Mereka mengucilkanku dengan
alasan aku tidak seharusnya ikut lomba fashion show karena aku adalah mantan
ketua bidang keagamaan OSIS. Aku mencoba meminta maaf kepada mereka dan
menjelaskan kalau saat itu aku hanya menyelamatkan kelasku dan tampil apa
adanya. Namun, mereka tidak memperdulikanku. Mereka juga marah kepadaku karena
nilai-nilai ulanganku selalu jauh lebih tinggi dari nilai-nilai mereka.
Aku
benar-benar terpukul dan merasa sedih atas perlakuan semua sahabat-sahabatku.
Diantara 4 orang sahabatku, hanya 1 orang yang masih sudi akrab denganku. Namun
dia hanya mau berinteraksi denganku dibelakang sahabat-sahabtku yang lain
karena jika mereka mengetahuinya, mereka akan marah kepada sahabatku yang masih
setia kepadaku tersebut. Akhirnya kami hanya bisa berinteraksi diluar jam-jam
sekolah dan untungnya aku dan sahabatku yang masih setia tersebut ikut kegiatan
pramuka sehingga kami masih dapat bersama-sama tanpa sepengetahuan sahabat-sahabatku
yang lain.
Saat
itu aku benar-benar bertanya-tanya tentang makna dibalik sebuah persahabatan
yang sejati karena aku tidak menemukannya dari kisah persahabatan yang saat itu
telah kujalani. Aku menjadikan semua itu sebuah pelajaran persahabatan yang
berharga bagiku. Hari-hariku kujalani dengan penuh kesendirian. Setiap jam
istirahat kulihat mereka selalu bersama, bercanda dan tertawa. Mereka
benar-benar menyingkirkanku.
Aku
menganggap kejadian itu adalah sebuah proses pendewasaan diri bagiku. Aku yakin
bisa tetap melangkah maju tapa mereka karena mereka bukanlah penopang utama
kehidupanku. Aku lebih memfokuskan diriku lagi untuk menghadapi ujian nasional.
Sebelum ujian nasional, sekolahku banyak menerima formulir PMDK (formulir
mahasiswa undangan) dari berbagai universitas yang ada di Indonesia. Mulai dari
universitas-universitas besar terkenal sampai universitas-universitas biasa.
Guruku
menyarankan aku untuk mengisi salah satu dari formulir tersebut. Namun, satu
hal yang membuatku mengurungkan niat adalah bayaran setiap formulir rata-rata
Rp.150.000,-. Padahal uang yang kuterima setiap bulannya Cuma Rp.45.000,-. Aku
bertanya kepada wakil kepala sekolahku tentang ada atau tidaknya formulir PMDK
yang gratis. Ternyata sebuah Sekolah Tinggi Islam yang ada di daerahku menerima
siswa PMDK tanpa bayaran formulir. Aku memilih jurusan Bahasa Inggris sebagai
pilihan pertamaku dan pilihan BK sebagai pilihan keduaku.
Ternyata
aku diterima sebagai mahasiswa PMDK di jurusan Bahasa Inggris di Sekolah Tinggi
Agama Islam tersebut. Teman-temanku banyak yang mencemoohku saat itu. Termasuk
juga para sahabat-sahabatku. Kudengar mereka sibuk bercerita tentang
bimbel(bimbingan-bimbingan belajar) yang akan dijalaninya diluar kota dan
ujian-ujian SMPTN di perguruan-perguruan tinggi terkenal di propinsiku dan
jurusan-jurusan bergengsi yang akan mereka masuki nantinya.
Mereka
juga berkomentar terhadap nasibku yang hanya penerima PMDK di kampus yang ada
di kampungku. Mereka berkata bahwa percuma saja aku diterima di tempat tersebut,
sebab jurusan bahasa inggris di sekolah tinggi agama islam tersebut tidak
memiliki kualifikasi yang baik. Aku tidak mau terlalu banyak berkomentar kepada
mereka karena aku sendiri juga tidak yakin akan bisa melanjutkan kuliah disana.
Karena lagi lagi faktor penghalangku adalah dana. Aku mencari-cari informasi
tentang uang yang harus kusiapkan untuk masuk kuliah disana. Ternyata aku harus
membayar sebanyak Rp1.150.000,-.
Aku menceritakan kepada bapakku kalau aku akan
kuliah di Kampus yang berlokasi tidak jauh dari rumahku tersebut. Ketika
mendengar jumlah bayaran yang harus kubayar, Bapakku tertegun dan menjanjikan
kepadaku akan mengumpulkan dulu uang sebanyak itu dalam setahun, baru tahun
selanjutnya aku bisa mendaftarkan diri disana. Aku benar-benar sedih karena aku
yakin dalam tahun selanjutnya tentu aku akan terhitung bukan sebagai mahasiswa
undangan lagi dan bayarannya pun tentu akan semakin mahal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar