Pengikut

Rabu, 13 Maret 2013

*MASA REMAJA PENUH PERJUANGAN*


Aku mencoba mendaftarkan diri ke sebuah SMA Unggul favorit yang ada di daerahku. Aku diterima dengan urutan nama nomor 100 dari 300 siswa yang diterima. Saat pendaftaran ulang, aku diharuskan membayar uang membeli pakaian seharaga RP.565.000,-. Namun, bapakku tidak memiliki uang sepeserpun untuk hal tersebut. Aku mencoba memohon kepada guru di sekolah tersebut agar tetap menerimaku sebagai siswa nya. Aku berjanji kepada guru tersebut akan tetap memakai seragam sekolah sesuai dengan peraturan mereka walaupun aku harus memakai pakaian bekas kakak sepupuku yang juga sekolah disana.
Apa yang kulakukan tidak membuahkan hasil. Guru tersebut justru mengusirku dan mengatakan kalau aku tidak sanggup membayar uang sebanyak Rp.565.000,- sebaiknya aku tidak usah mendaftar ulang disana karena masih banyak anak cadangan yang akan mendaftar menggantikan posisiku dan mereka sanggup membayar uang tersebut sesuai dengan yang jumlah diminta. Aku benar-benar terpukul dan menghibur hatiku dengan berkata kepada diriku sendiri bahwa aku memang tidak pantas diterima disekolah tersebut karena aku bukanlah dari golongan orang kaya. Untuk membayar uang pendaftaran ulang saja yang Rp.565.000,- aku tidak sanggup apalagi nantinya kalau aku sudah sekolah disana. Tentunya akan ada lagi kewajiban-kewajiban lain yang lebih menyusahkanku untuk memenuhinya.
Aku berusaha untuk ikhlas menerima kenyataan yang kuhadapi tersebut. Bapak mencoba menyemangatiku untuk mendaftarkan diri di SMA yang ada di kampung bapakku. Bapakku banyak kenal dengan beberapa guru yang ada di SMA tersebut karena kakak kandungku juga bersekolah disana. Bapak menghiburku kalau disana aku bisa berhutang dulu ke sekolah sampai sanggup membayar setiap tunggakan-tunggakanku.
Akhirnya aku mengikuti saran bapakku. Aku diletakkan di kelas satu unggul. Semua teman di kelas tersebut adalah teman baru bagiku karena tidak satupun dari mereka yang kukenal sebelumnya. Aku berinteraksi dengan baik. Pada suatu hari, aku mengikuti ujian Bahasa Indonesia. Aku tidak sempat belajar sebelumnya. Saat soal dibagikan, aku teringat kalau sebagian besar soal tersebut persis sama dengan soal kuis yang diadakan seminggu sebelumnya. Syetan menggodaku untuk mencontek lembaran kuisku yang selalu kusimpan di laci mejaku.
Jantungku berdebar keras karena aku belum pernah melakukan hal tersebut sebelumnya. Namun, godaan syetan yang begitu dahsyat mendorong tanganku mengambil lembaran kertas kuisku dan meletakkannnya di atas meja. Aku menutupnya dengan lembaran soal. Aku benar-benar merasa was-was. Rona wajahku langsung berubah. Ternyata guruku dapat membaca gerak-gerikku. Dengan santai dan penuh senyuman beliau berjalan menuju mejaku. Aku semakin salah tingkah. Beliau membalikkan lembaran soalku dan mengambil kertas contekanku. Selanjutnya beliau memberiku oleh-oleh tulisn nol besar sepenuh kertas ulangan dan aku disuruh menunggu semua teman-temanku selesai ujian di luar kelas.
Aku benar-benar menyesal dengan hal yang telah kulakukan tersebut. Ternyata aku tidak bisa menjadi siswa pencontek yang amatiran apalagi seorang pencontek yang professional. Setelah jam pelajaran selesai, aku memutuskan menemui guru tersebut di kantornya. Aku meminta maaf mengakui kesalahanku dan berjanji tidak akan mengulanginya untuk waktu yang akan datang. Melihat kesungguhannku dalam menyesali hal tersebut, guru tersebut memberikaku kesempatan untuk remedial keesokan harinnya. Saat itu aku benar-benar belajar tentang pentingnya arti kejujuran dan tanggung jawab dalam  kehidupan sekolah..
Hari-hari selanjutnya berjalan lancar sampai akhirnya diadakan pemilihan jurusan untuk naik ke kelas dua nantinya. Guru BK ku menyebarkan formulir yang harus kuisi dengan pilihan jurusan yang kuinginkan di sekolah tersebut. Aku menulis IPS pada pilihan pertamaku dan mengosongkan pilihan keduaku.
Namun, saat menerima rapor kenaikan kelas, dibuku raporku tertulis kalimat “naik ke kelas XI IA”. Aku benar-benar surprise dan mengajukan protes kepada wali kelasku. Aku mengatakan kalau aku tidak mau kelas IA (Ilmu Alam) tersebut. Wali kelasku membujuk untuk mencoba terlebih dahulu belajar di kelas IA tersebut minimal seminggu karena beliau mengatakan kalau kemampuan dasarku memang cocok untuk kelas tersebut. Hasil tes IQ dan nilai-nilai raporku juga mengarahkanku untuk ke kelas IA. Aku tetap bersikeras mengatakan kepada wali kelasku untuk tetap mengganti aku ke kelas IS (Ilmu Sosial).
Sebenarnya jauh di dasar hatiku, aku sangat menginginkan  belajar di kelas IA. Namun, aku takut kalau pilihan belajar di IA tidak bisa membuatku melanjutkan pendidikanku menuju universitas nantinya, Saat itu aku beranggapan kalau aku memilih kelas IA, setelah tamat SMA aku harus langsung melanjutkan kuliahku ke kedokteran, kebidanan, keperawatan atau kuliah guru jurusan eksak. Jika tidak maka ilmuku tentu akan hilang dan membeku tanpa arti.
Nah, untuk melanjutkan pendidikanku ke kuliah nantinya tentu bukanlah hal yang mudah bagiku dan aku yakin bapakku juga tidak akan punya uang untuk hal itu. Namun, jika aku memilih jurusan Imu Sosial, aku bisa bekerja dan mengumpulkan uang untuk kuliah selepas aku tamat dari SMA ku. Sebab jurusan Ilmu sosial mengajarkan bagaimana menjadi pedagang yang baik melalui mata pelajaran ekonominya, mengajarkan cara berinteraksi dengan masyarakat melalui jurusan sosiologinya.   
Aku tidak mau mengungkapkan semua alasanku tersebut kepada wali kelasku. Aku membujuk bapakku agar mau berbicara kepada wali kelasku untuk memasukkan aku ke dalam kelas IS. Akhirnya usahaku tersebut berhasil dan aku dimasukkan kedalam kelas IS unggul di sekolahku. Dalam kelas tersebut aku banyak menemukan teman-teman yang frustasi karena tidak bisa masuk ke kelas Ilmu Alam. Aku selalu menghibur dan menyemangati mereka untuk tetap belajar dengan ikhlas di dalam kelas IS.
Untuk megembangkan bakatku aku mencoba bergabung dengan OSIS sekolahku. Setelah melalui beberapa tes, akhirnya aku ditempatkan sebagai ketua divisi keagamaan karena teman-teman di OSIS ku melihat banyak kemampuan positifku dalam organisasi pramuka dan ROHIS (Rohani Islam). Kegiatan organisasi membuatku harus memiliki uang saku tambahan untuk berbagai event yang tak terduga.
Saat itu aku pernah dikucilkan oleh seluruh teman kelasku. Mereka kesal karena aku telah berlaku jujur kepada guru bahasa arabku. Waktu itu kelas kami akan menghadapi ulangan bahasa arab. Namun, teman-teman sudah mendapatkan bocoran soal dari kelas yang lain. Mereka menyiapkan banyak contekan untuk menghadapi ulangan tersebut. Sebagai ketua bidang keagamaan OSIS, aku benar-benar kecewa denga ketidakjujuran yang dilakukan oleh teman-temanku tersebut. Aku melaporkan hal tersebut sejam sebelum ulangan dimulai. Akhirnya guru bahasa arabku menggati soal ulangnku dengan yang baru. Teman-temanku benar-benar terkejut dan akhirnya mereka semua marah kepadaku,
Aku tidak menyesal melakukan hal tersebut. Aku bahkan merasa puas karena telah melakukan suatu hal yang baik. Aku merasa bersyukur karena sahabat-sahabatku masih mau berteman denganku walaupun mereka juga protes dengan hal yang telah kulakukan tersebut. Hari-hariku berjalan lancar dengan berbagai aktivitas-aktivitas bermanfaat yang selalu menambah saqafah keilmuanku. Aku semakin ketagihan mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan tambahan yang memberikan pengalaman-pengalaman baru buatku. Namun, hal yang sering menghalangiku adalah keminiman dana.
Aku mulai berfikir tentang cara yang baik untuk mendapatkan tambahan jajan. Aku jadi terinspirasi menawarkan diri untuk menjadi cleaning service kelas kepada wali kelasku. Awalnya wali kelasku terkejut mendengar permintaanku tersebut. Namun setelah melihat situasi teman-temanku banyak yang malas untuk melaksaakan kewajiban piket kelas, akhirnya wali kelasku mendiskusika hal tersebut dengan teman-teman sekelasku.
Selanjutnya resmilah aku menjadi cleaning service sejati di kelasku. Teman-temanku kelihatannya sangat bahagia karena mereka tidak perlu lagi repot-repot untuk piket kelas setiap minggu. Mereka hanya cukup membayar Rp.1000,- kepada bendahara kelasku. Nantinya bendahara menyerahkan uang sebesar Rp.30.000,- kepadaku setiap bulannya. Ya, uang Rp.30.000,- tersebut adalah gajiku sebulan sebagai cleaning service kelas. Walaupun sangat kecil, namun jumlah uang Rp.30.000 tersebut benar-benar berharga bagiku. Mulai saat itu aku selalu pulang lebih lama dari semua teman-temanku. Setiap pulang sekolah aku harus menunggu kelas sampai kosong dan menyapunya sampai bersih. Aku melakukan hal tersebut dengan penuh keikhlasan dan kuniatkan sebagai olahraga.
Sampai aku di kelas tiga pun teman-teman masih memintaku untuk menjadi cleaning service kelas kami. Namun, aku meminta mereka untuk sedikit menaikkan jumlah bayarannya. Akhirnya mereka menaikkan bayaranku Rp.15.000,-
Pada suatu hari, teman-tema OSIS mengadakan lomba fashion show kebaya muslim bagi seluruh kelas. Setiap kelas wajib mengirim sepasang utusan untuk mengikuti lomba ini. Setelah diadakan diskusi kelas, tidak ada teman-temanku yang mau menjadi utusan lomba. Akhirnya ketua kelas memintaku untuk mewakili kelas kami. Sebenarnya aku tidak tahu apapun dalam hal fashion.
Aku meminta pendapat sahabat-sahabatku. Mereka hanya merespon dengan sangat sederhana dan terlihat setuju saja dengan keputusanku untuk menyelamatkan kelas kami dari denda yang harus dibayarkan jika tidak ada utusan kelas yang datang buat lomba tersebut. Hari-hari setelah lomba benar-benar sibuk dengan ujian-ujian mata pelajaran. Aku sering belajar sendiri tanpa sahabat-sahabatku.
Seminggu setelah itu aku mencoba bergabung lagi dengan sahabat-sahabatku. Ternyata mereka sudah tidak mau lagi berteman denganku. Mereka mengucilkanku dengan alasan aku tidak seharusnya ikut lomba fashion show karena aku adalah mantan ketua bidang keagamaan OSIS. Aku mencoba meminta maaf kepada mereka dan menjelaskan kalau saat itu aku hanya menyelamatkan kelasku dan tampil apa adanya. Namun, mereka tidak memperdulikanku. Mereka juga marah kepadaku karena nilai-nilai ulanganku selalu jauh lebih tinggi dari nilai-nilai mereka.
Aku benar-benar terpukul dan merasa sedih atas perlakuan semua sahabat-sahabatku. Diantara 4 orang sahabatku, hanya 1 orang yang masih sudi akrab denganku. Namun dia hanya mau berinteraksi denganku dibelakang sahabat-sahabtku yang lain karena jika mereka mengetahuinya, mereka akan marah kepada sahabatku yang masih setia kepadaku tersebut. Akhirnya kami hanya bisa berinteraksi diluar jam-jam sekolah dan untungnya aku dan sahabatku yang masih setia tersebut ikut kegiatan pramuka sehingga kami masih dapat bersama-sama tanpa sepengetahuan sahabat-sahabatku yang lain.
Saat itu aku benar-benar bertanya-tanya tentang makna dibalik sebuah persahabatan yang sejati karena aku tidak menemukannya dari kisah persahabatan yang saat itu telah kujalani. Aku menjadikan semua itu sebuah pelajaran persahabatan yang berharga bagiku. Hari-hariku kujalani dengan penuh kesendirian. Setiap jam istirahat kulihat mereka selalu bersama, bercanda dan tertawa. Mereka benar-benar menyingkirkanku.
Aku menganggap kejadian itu adalah sebuah proses pendewasaan diri bagiku. Aku yakin bisa tetap melangkah maju tapa mereka karena mereka bukanlah penopang utama kehidupanku. Aku lebih memfokuskan diriku lagi untuk menghadapi ujian nasional. Sebelum ujian nasional, sekolahku banyak menerima formulir PMDK (formulir mahasiswa undangan) dari berbagai universitas yang ada di Indonesia. Mulai dari universitas-universitas besar terkenal sampai universitas-universitas biasa.
Guruku menyarankan aku untuk mengisi salah satu dari formulir tersebut. Namun, satu hal yang membuatku mengurungkan niat adalah bayaran setiap formulir rata-rata Rp.150.000,-. Padahal uang yang kuterima setiap bulannya Cuma Rp.45.000,-. Aku bertanya kepada wakil kepala sekolahku tentang ada atau tidaknya formulir PMDK yang gratis. Ternyata sebuah Sekolah Tinggi Islam yang ada di daerahku menerima siswa PMDK tanpa bayaran formulir. Aku memilih jurusan Bahasa Inggris sebagai pilihan pertamaku dan pilihan BK sebagai pilihan keduaku.
Ternyata aku diterima sebagai mahasiswa PMDK di jurusan Bahasa Inggris di Sekolah Tinggi Agama Islam tersebut. Teman-temanku banyak yang mencemoohku saat itu. Termasuk juga para sahabat-sahabatku. Kudengar mereka sibuk bercerita tentang bimbel(bimbingan-bimbingan belajar) yang akan dijalaninya diluar kota dan ujian-ujian SMPTN di perguruan-perguruan tinggi terkenal di propinsiku dan jurusan-jurusan bergengsi yang akan mereka masuki nantinya.
Mereka juga berkomentar terhadap nasibku yang hanya penerima PMDK di kampus yang ada di kampungku. Mereka berkata bahwa percuma saja aku diterima di tempat tersebut, sebab jurusan bahasa inggris di sekolah tinggi agama islam tersebut tidak memiliki kualifikasi yang baik. Aku tidak mau terlalu banyak berkomentar kepada mereka karena aku sendiri juga tidak yakin akan bisa melanjutkan kuliah disana. Karena lagi lagi faktor penghalangku adalah dana. Aku mencari-cari informasi tentang uang yang harus kusiapkan untuk masuk kuliah disana. Ternyata aku harus membayar sebanyak Rp1.150.000,-.
Aku menceritakan kepada bapakku kalau aku akan kuliah di Kampus yang berlokasi tidak jauh dari rumahku tersebut. Ketika mendengar jumlah bayaran yang harus kubayar, Bapakku tertegun dan menjanjikan kepadaku akan mengumpulkan dulu uang sebanyak itu dalam setahun, baru tahun selanjutnya aku bisa mendaftarkan diri disana. Aku benar-benar sedih karena aku yakin dalam tahun selanjutnya tentu aku akan terhitung bukan sebagai mahasiswa undangan lagi dan bayarannya pun tentu akan semakin mahal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar