Pada
tanggal 24-27 juli aku harus mengikuti PDO (pre departure orientation di
Jakarta. Padahal waktu itu aku tengah mengikuti kegiatan KKN (Kuliah Kerja
Nyata) di sebuah kampong pedalaman yang jauh dari akses informasi yang memadai.
Panitia mengirimkan tiket keberangkatanku untuk ke Jakarta melalui emil. Untuk mengecek
email, aku harus naik motor selama satu jam menuju pusat kabupaten dari kampung
terpencil tersebut.
Saat
panitia mau memesankan tiket buatku, mereka bertanya lagi tentang kepastian
tanggal untukku kembali ke kampungku. Aku meminta tanggal kepulanganku 3 hari
setelah acara karena salah seorang adek bapakku ada yang tinggal dijakarta
mengajakku untuk menetap ditempatnya selama 3 hari setelah acara. Aku
membayangkan suasana yang menyenangkan yang akan kujalani nantinya dijakarta
setelah acara PDO ku. Pamanku berjanji akan mengajakku jalan-jalan selama 3
hari aku disana.
Dengan
penuh keyakinan aku meminta panitia untuk mengundur kepulanganku selama 3 hari
dengan perjanjian panitia tidak akan menanggung akomodasiku selama 3 hari
tersebut karena sudah diluar tanggal acara. Selanjutnya aku mempersiapkan
diriku buat PDO (oientasi sebelum keberangkatan) di lokasi KKN ku. Aku mengalami
kesulitan dalam mengirim dan menerima file-file persiapan PDO yang dikirimkan
panitia buatku karena lokasi tersebut tidak memiliki akses internet yang
memadai.
Tepat
pada tanggal yang telah ditentukan yaitu 2 hari sebelum PDO, aku minta izin
kepada kepala panitia yang mengurus bagian KKN ku untuk memberiku izin dengan
alasan yang syar’i. Aku harus meminta tanda tangan berbagai pihak lain untuk
bukti resmi izin keluar dari lokasi KKN ku. Pesan yang sangat membuatku merasa
tidak enak adalah semua orang memesan oleh-oleh kepadaku. Sebenarnya aku ingin
sekali bisa menghadiahi semua orang-orang yang kukenal dengan oleh-oleh dari
tempat-tempat yang kukunjungi. Tetapi tentu saja hal tersebut adalah suatu hal
yang tdak mungkin bisa kulakukan karena aku tidak memiliki mesin pencetak uang
di rumahku.
Setelah
berpamitan dengan warga kampung di tempat lokasi KKN ku, aku pulang ke rumah
orangtuaku untuk menyiapkan bekalku ke Jakarta. Aku tidur semalam di rumah dan
mempersiapkan pakaian dan kelengkapan dokumen-dokumenku untuk PDO. Untuk
keberangkatanku ke Jakarta, aku harus menuju propinsi terlebih dahulu selama 3
jam perjalanan. Tiket pesawatku adalah minggu pagi jam 8. Selanjutnya aku
memutuskan untuk berangkat ke propinsi pada sabtu sore karena aku takut mengalami
hambatan yang tidak terduga dan tidak diinginkan.
Sabtu
sore aku sampai di Padang sendirian karena Bapak dan ibu tidak punya ongkos
untuk menemaniku. Mereka hanya mengiringiku dengan doa penuh keikhlasan. Malam itu aku menumpang tinggal di rumah adek
bapakku. Mereka mengatakan akan mengantarkanku ke Bandara keesokan paginya
bersama-sama. Disamping itu aku juga berharap akan dapat sedikit uang saku dari
mereka karena saat itu aku hanya memiliku uang Rp.60.000,-. Aku beristirahat
melepas lelah sambil bermain-main dengan adik-adik sepupuku.
Malam
harinya tepat jam 9 malam, adek sepupuku mendapat sms kalau salah seoranga adik
sepupu laki-lakiku yang masih duduk di kelas 1 SMA mengalami kecelakaan lalu
lintas. Kulihat sore harinya dia memang sibuk bersiap-siap mau pergi bermain
bersama teman-temannya. Namun tidak seorangpun yang menyangka kalau dia akan
mengalami peristiwa naas kecelakaan lalu lintas. Dia terlempar dari motornya
dan terhempas ke trotoar jembatan laying menuju Bandara International Minangkabau.
Bandara tempat aku akan berangkat menuju Jakarta keesokan paginya. Teman-temannya
membawanya ke berbagai tempat untuk mendapatkan pertolongan. Semua paman dan
bibiku kocar-kacir berlarian menuju tempat adikku dibawa.
Aku
dan adik-adik sepupu yang lain menunggu di rumah dengan penuh kecemasan. Tepat
jam 12 malam, salah seorang teman pamanku datang dan membawa kabar duka yang
membuat kami semua terkejut. Akhirnya adikku menghembuskan nafas terakhirnya di
rumah sakit tersebut. Ternyata sore itu adalah pertemuan terakhirku dengannya.
Semua adik sepupuku yang perempuan menangis tak karuan. Aku menenangkan mereka
dan mengajak mereka menyiapkan dipan dan tikar untuk pembaringan jenazah
adikku.
Aku
menunggu kedatangan paman, bibi dan jenazah adikku dengan fikiran yang tak
karuan. Aku ragu untuk melanjutkan perjalananku keesokan harinya menuju
Jakarta. Aku berpikir tidak mungkin meninggalkan jenazah adikku di rumah. Aku
berdoa agar tetap diberi ketenangan batin oleh Allah dalam menghadapi semua
kejadian itu. Yang dapat kulakukan malam itu hanya membaca ayat suci alquran
sambil sesenggukan disamping jenazah adikku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar