Aku
mengambil koperku dan berpamitan kepada seluruh teman-temanku yag masih di
hotel. Di luar gerbang hotel, aku celingukan mencari-cari orang yang dimaksud
pamanku. Aku melihat diujung pagar seorang pemuda seusiaku duduk diatas motor
sambil menunggu seseorang. Dia berperawakan lebih tinggi dari aku, rambutnya
ikal, kulitnya sawo matang. Di dalam hati aku menerka kalau pemuda itu adalah
anak buah pamanku yang sedang menungguku. Aku menghampirinya dan menayakan apakah
dia sedang menunggu seseorang yang bernama Resa. Dia mengangguk dan tersenyum manis
kepadaku. Lalu aku memperkenalkan diri kepadanya.
Beberapa
saat kemudian aku telah berboncengan dengan motornya mengarungi keramaian lalu
lintas Jakarta. Koperku diletakkan di bagian depan. Aku meminta maaf kepadanya
karena telah membuatnya repot. Dia mengatakan kalau dia memang selalu patuh
sama perintah bosnya. Aku bertanya kepadanya tentang tujuan kami selanjutnya.
Dia mengatakan akan membawaku ke Jakarta selatan ke foto copy pamanku,
selanjutnya dia akan mengantarkanku ke rumah pamanku.
Dalam
kepalaku aku membayangkan kalau Jakarta selatan tersebut dekat dengan lokasi
hotelku. Ternyata dugaanku salah, jalanan menuju kesana benar-benar jauh,
banyak belokan dan kemacetan. Udara yang panas dan penuh debu membuatku
benar-benar merasa gerah dan tidak nyaman. Untuk menghilangkan semua rasa
tersebut, aku membayangkan kalau
sebentar lagi aku akan bisa beristirahat tenang di rumah pamanku. Aku
membayangkan bisa makan siang di rumah pamanku karena perutku saat itu sudah
mulai terasa lapar.
Sepanjang
jalan aku hanya banyak terdiam dan tidak bercerita banyak dengan pemuda itu
karena aku tidak punya topic banyak untuk bercerita dengannya. Tidak lama
kemudia kamipun sampai di foto kopi pamanku. Aku benar-benar terkejut karena
foto kopi tersebut hanya berbentuk warung kecil di sebuah pasar. Aku tidak
melihat tanda-tanda kalau rumah pamanku ada dilokasi tersebut. Aku benar-benar
merasa kikuk. Pemuda tersebut menurunkan koperku dan menyuruh ku makan siang di
sebuah rumah makan padang yang ada di sebelah foto kopi tersebut dan berkata
kalau dia yang akan membayarnya.
Setelah
makan dan numpang sholat zuhur di rumah makan tersebut, aku langsung kembali
menuju foto kopi pamanku dan menemui pemuda itu lagi. Dia menyuruhku menunggunya
untuk beberapa jam sebelum pergi ke rumah pamanku. Smbil menunggu aku bermain
dengan computer yang tersedia disana. Dia bercerita kepadaku kalau dia tinggal
berdua dengan temannya di foto kopi pamanku tersebut. Sekali seminggu pamanku
datang kesana untuk memantau mereka. Aku juga bercerita kepdanya kalau aku
tidak tahu rupa paman yang akan kutemui tersebut. Dia mengatakan kalau pamaku
yang akan kutemui nantinya ada dua orang. Mereka tinggal di tangerang. Salah
seorang dari pamanku tersebut adalah bos mereka.
Setelah
sholat asyar, pemuda tersebut menyuruhku bersiap-siap untuk berangkat menuju
rumah pamanku. Di perjalanan aku benar-benar merasakan ketidaknyamanan lalu
lintas Jakarta. Beberapa kali motornya tersenggol-senggol oleh mobil yang
berjalan menyelip, Aku benar-benar takut karena baru pertama kali merasakan hal
yang seperti itu. Kulihat pemuda tersebut terlihat santai dengan situasi seperti
itu. Empat hari di Jakarta telah membuatku merasakan dua sisi kehidupan yang
berbeda. Pertama, aku merasakan hidup mewah selama acara PDOku, tinggal di
hotel yang mewah, makan-makanan enak dan bepergian dengan taksi yang nyaman. Namun
hari itu aku merasakan hidup seperti orang terlantar yang berjalan dalam udara panas Jakarta yang penuh debu, mengaharapkan
belas kasihan orang lain untuk hidup dan makan.
Lagi-lagi
aku lebih banyak terdiam di atas motor pemuda tersebut. Aku harus
berkonsentrasi dengan posisi dudukku karena pemuda tersebut ngebut memacu kecepatan motornya. Apalagi
waktu melewati jalan tol. Aku benar-benar takut jatuh dan berpegangan erat pada
bajunya. Aku tidak berani memegangi pinggangnya karena aku belum pernah
melakukan hal tersebut sebelumnya dengan seorang laki-laki apalagi dia bukanlah
muhrimku. Dalam fikiranku terbayang seandainya kami terjatuh mungkin jaketnya
akan robek karena peganganku.
Daerah
Di sepanjang jalan aku melihat nama-nama lokasi yang kulalui. Kulihat daerah
Daan Mogot. Aku teringat kalau aku
pernah tahu nama daerah Daan Mogot
tersebut dari siaran telivisi Mamah
dedeh. Waktu itu jemaah yang datang dati
Musholla yang ada di Daan Mogot. Dan kami menjadikan tayangan televise tersbut
sebagai bahan pelajaranku di kampus. Aku tersenyum di dalam hati karena tidak
menyangka akan bisa datang ke daerah tersebut.
Setelah
berkendara 3 jam akhirnya kamipun sampai di foto kopi pamanku yang di
tangerang. Disana pamanku yang muda telah menungguku bersama istrinya. Aku
menyalami dan menciumi punggung tangan mereka sebagai tanda hormatku kepada
mereka. Pamanku memesankan sebotol teh es untukku dan pemuda itu. Setelah
sholat magrib kamipun pulang kerumah pamanku yang muda. Di jalan, pemuda
tersebut mengatakan kalau pamanku yang muda tersebut baru menikah 2 bulan yang
lalu dengan istrinya. Di dalam hati aku benar-benar merasa segan telah merepotkan
mereka semua.
Sesampainya
dirumah aku membantu istri pamanku
memasak makan malam. Kami banyak bercerita. Ternyata istri pamanku tersebut
seusia denganku dan dia mengataka kalau dia kawin dengan paman mudaku karena
dijodohkan oleh orang tuanya. Aku benar-benar terkejut mendengar ceritanya dan
aku mengeluarkan tausiah-tausiah rumah tangga yang pernah kudapatkan dalam
materi halaqahku, tentang keikhlasan untuk menjadi seorang istri dan berbakti
kepada suami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar