Pengikut

Kamis, 14 Maret 2013

*MENGGEMBEL DI JAKARTA*

Aku mengambil koperku dan berpamitan kepada seluruh teman-temanku yag masih di hotel. Di luar gerbang hotel, aku celingukan mencari-cari orang yang dimaksud pamanku. Aku melihat diujung pagar seorang pemuda seusiaku duduk diatas motor sambil menunggu seseorang. Dia berperawakan lebih tinggi dari aku, rambutnya ikal, kulitnya sawo matang. Di dalam hati aku menerka kalau pemuda itu adalah anak buah pamanku yang sedang menungguku. Aku menghampirinya dan menayakan apakah dia sedang menunggu seseorang yang bernama Resa. Dia mengangguk dan tersenyum manis kepadaku. Lalu aku memperkenalkan diri kepadanya.
Beberapa saat kemudian aku telah berboncengan dengan motornya mengarungi keramaian lalu lintas Jakarta. Koperku diletakkan di bagian depan. Aku meminta maaf kepadanya karena telah membuatnya repot. Dia mengatakan kalau dia memang selalu patuh sama perintah bosnya. Aku bertanya kepadanya tentang tujuan kami selanjutnya. Dia mengatakan akan membawaku ke Jakarta selatan ke foto copy pamanku, selanjutnya dia akan mengantarkanku ke rumah pamanku.
Dalam kepalaku aku membayangkan kalau Jakarta selatan tersebut dekat dengan lokasi hotelku. Ternyata dugaanku salah, jalanan menuju kesana benar-benar jauh, banyak belokan dan kemacetan. Udara yang panas dan penuh debu membuatku benar-benar merasa gerah dan tidak nyaman. Untuk menghilangkan semua rasa tersebut,  aku membayangkan kalau sebentar lagi aku akan bisa beristirahat tenang di rumah pamanku. Aku membayangkan bisa makan siang di rumah pamanku karena perutku saat itu sudah mulai terasa lapar.
Sepanjang jalan aku hanya banyak terdiam dan tidak bercerita banyak dengan pemuda itu karena aku tidak punya topic banyak untuk bercerita dengannya. Tidak lama kemudia kamipun sampai di foto kopi pamanku. Aku benar-benar terkejut karena foto kopi tersebut hanya berbentuk warung kecil di sebuah pasar. Aku tidak melihat tanda-tanda kalau rumah pamanku ada dilokasi tersebut. Aku benar-benar merasa kikuk. Pemuda tersebut menurunkan koperku dan menyuruh ku makan siang di sebuah rumah makan padang yang ada di sebelah foto kopi tersebut dan berkata kalau dia yang akan membayarnya.
Setelah makan dan  numpang sholat zuhur  di rumah makan tersebut, aku langsung kembali menuju foto kopi pamanku dan menemui pemuda itu lagi. Dia menyuruhku menunggunya untuk beberapa jam sebelum pergi ke rumah pamanku. Smbil menunggu aku bermain dengan computer yang tersedia disana. Dia bercerita kepadaku kalau dia tinggal berdua dengan temannya di foto kopi pamanku tersebut. Sekali seminggu pamanku datang kesana untuk memantau mereka. Aku juga bercerita kepdanya kalau aku tidak tahu rupa paman yang akan kutemui tersebut. Dia mengatakan kalau pamaku yang akan kutemui nantinya ada dua orang. Mereka tinggal di tangerang. Salah seorang dari pamanku tersebut adalah bos mereka.
Setelah sholat asyar, pemuda tersebut menyuruhku bersiap-siap untuk berangkat menuju rumah pamanku. Di perjalanan aku benar-benar merasakan ketidaknyamanan lalu lintas Jakarta. Beberapa kali motornya tersenggol-senggol oleh mobil yang berjalan menyelip, Aku benar-benar takut karena baru pertama kali merasakan hal yang seperti itu. Kulihat pemuda tersebut terlihat santai dengan situasi seperti itu. Empat hari di Jakarta telah membuatku merasakan dua sisi kehidupan yang berbeda. Pertama, aku merasakan hidup mewah selama acara PDOku, tinggal di hotel yang mewah, makan-makanan enak dan bepergian dengan taksi yang nyaman. Namun hari itu aku merasakan hidup seperti orang terlantar yang berjalan dalam  udara panas Jakarta yang penuh debu, mengaharapkan belas kasihan orang lain untuk hidup dan makan.
Lagi-lagi aku lebih banyak terdiam di atas motor pemuda tersebut. Aku harus berkonsentrasi dengan posisi dudukku karena pemuda tersebut  ngebut memacu kecepatan motornya. Apalagi waktu melewati jalan tol. Aku benar-benar takut jatuh dan berpegangan erat pada bajunya. Aku tidak berani memegangi pinggangnya karena aku belum pernah melakukan hal tersebut sebelumnya dengan seorang laki-laki apalagi dia bukanlah muhrimku. Dalam fikiranku terbayang seandainya kami terjatuh mungkin jaketnya akan robek karena peganganku.
Daerah Di sepanjang jalan aku melihat nama-nama lokasi yang kulalui. Kulihat daerah Daan Mogot. Aku teringat kalau  aku pernah  tahu nama daerah Daan Mogot tersebut dari siaran telivisi  Mamah dedeh. Waktu  itu jemaah yang datang dati Musholla yang ada di Daan Mogot. Dan kami menjadikan tayangan televise tersbut sebagai bahan pelajaranku di kampus. Aku tersenyum di dalam hati karena tidak menyangka akan bisa datang ke daerah tersebut.
Setelah berkendara 3 jam akhirnya kamipun sampai di foto kopi pamanku yang di tangerang. Disana pamanku yang muda telah menungguku bersama istrinya. Aku menyalami dan menciumi punggung tangan mereka sebagai tanda hormatku kepada mereka. Pamanku memesankan sebotol teh es untukku dan pemuda itu. Setelah sholat magrib kamipun pulang kerumah pamanku yang muda. Di jalan, pemuda tersebut mengatakan kalau pamanku yang muda tersebut baru menikah 2 bulan yang lalu dengan istrinya. Di dalam hati aku benar-benar merasa segan telah merepotkan mereka semua.
Sesampainya dirumah aku membantu  istri pamanku memasak makan malam. Kami banyak bercerita. Ternyata istri pamanku tersebut seusia denganku dan dia mengataka kalau dia kawin dengan paman mudaku karena dijodohkan oleh orang tuanya. Aku benar-benar terkejut mendengar ceritanya dan aku mengeluarkan tausiah-tausiah rumah tangga yang pernah kudapatkan dalam materi halaqahku, tentang keikhlasan untuk menjadi seorang istri dan berbakti kepada suami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar